Editorial 4 Maret 2011
Dua
minggu di rumah sakit yang terbilang mahal di kota Padang (RS.Siti Rahmah),
cukup banyak pengalaman yang di dapat. Diantara seorang kenalan yang
dikampungnya di sebut “mbah Wardi”. Kakeknya berasal dari Timor Leste, neneknya
orang Madura, dan ayahnya sebagai pegawai PN. Kereta Api di Jakarta. Dari ibu
orang Surabaya, lahirlah Jopie Suwardi kelahiran tahun 1950 di Jakarta. Dia
yang di akhir perjalanan hidupnya kemudian terdampar di nagari Koto Laweh, Kec.
Koto Besar, Kab. Dhamasraya sebagai petani kelapa Sawit. Cukup mengherankan,
karena si “Mbah” mampu membiayai operasi istrinya yang diserang kanker usus
besar sejumlah 33 juta, selama 14 hari di RS itu tanpa kesulitan apapun.
Menurut ceritanya, itu adalah hasil tani kelapa sawit yang dimilikinya sekitar
10 hektar.
Di luar itu semua, Wardi adalah teman yang mengasikkan. Betapa
tidak, dari mulutnya keluar pandangan hidup yang sangat mendalam, baik tentang
Indonesia maupun daerahnya. Tetapi dia tetap sederhana, jujur dan ndeso. Dia
bukan transmigran, tetapi pendatang sebagai migrasi dari pulau Jawa.
Lain halnya lagi dengan Suherminto dari Tanjung Baringin, Lunang Pesisir Selatan, yang
berayah orang Jepara dan beribu asal Ambarawa. Dia adalah potret lain dari
migrasi penduduk Jawa ke Sumatera Barat. Yang berobat ke RS ini adalah ibunya,
yang stress berat karena Suherminto memaksa ibunya masuk ajaran Islam khas yang
banyak berkembang di daerah itu sekarang dan dianggapnya sesat. Ibunya merasa
anaknya akan membunuhnya. Akibatnya bagian-bagian tertentu dari tubuhnya merasa
sakit, atau sebagai akibat psikosomatis. Ada gejala baru dari kedua potret ini,
Wardi misalnya, dia sudah beranak cucu, semua cucunya pergi ke kota Padang untuk
belajar dan bekerja sebagai apa saja, hal yang sama juga dilakukan oleh
Suherminto. Di manapun nampaknya kota
besar tetap menjadi sasaran terakhir dari pendatang yang mencari pekerjaan dan
harapan hidup baru.
No comments:
Post a Comment