Editorial 21 April 2011
Setiap 21 April
lalu, bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini. Peringatan yang merujuk pada
lahirnya Raden Ajeng Kartini, 21 April 1879. Kartini hidup pada zaman ketika
kekuatan budaya masyarakat sangat permisif memandang perempuan.
Kartini berani berteriak lantang. Ia berusaha mendobrak kekakuan sehingga lahirlah mainstream paradigma baru terhadap perempuan di Indonesia. Namanya pun hingga kini terus dikenang sebagai bukti perhargaan bangsa Indonesia terhadap perjuangannya.
Kartini berani berteriak lantang. Ia berusaha mendobrak kekakuan sehingga lahirlah mainstream paradigma baru terhadap perempuan di Indonesia. Namanya pun hingga kini terus dikenang sebagai bukti perhargaan bangsa Indonesia terhadap perjuangannya.
Kisah perjuangan Kartini ini mengingatkan penulis pada kisah Hajar, istri Nabi
Ibrahim AS. Hajar adalah wanita tabah dan ikhlas menerima semua ujian yang
Allah berikan. Keikhlasannya menjadi sumber kekuatan dalam berjuang.
Pada surat-surat
Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial saat itu,
terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar surat-suratnya
berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang
sebagai penghambat kemajuan perempuan. Dia ingin wanita memiliki kebebasan
menuntut ilmu dan belajar. Kartini menulis ide dan cita-citanya, seperti
tertulis: Zelf-ontwikkeling dan Zelf-onderricht, Zelf- vertrouwen dan
Zelf-werkzaamheid dan juga Solidariteit. Semua itu atas dasar Religieusiteit,
Wijsheid en Schoonheid (yaitu Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan), ditambah
dengan Humanitarianisme
(peri kemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta tanah air).
Surat-surat Kartini
juga berisi harapannya untuk memperoleh pertolongan dari luar. Pada perkenalan
dengan Estelle "Stella" Zeehandelaar, Kartini mengungkap keinginan
untuk menjadi seperti kaum muda Eropa. Ia menggambarkan penderitaan perempuan
Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah,
harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus
bersedia dimadu.
Pandangan-pandangan
kritis lain yang diungkapkan Kartini dalam surat-suratnya adalah kritik
terhadap agamanya. Ia mempertanyakan mengapa kitab suci harus dilafalkan dan
dihafalkan tanpa diwajibkan untuk dipahami. Ia mengungkapkan tentang pandangan
bahwa dunia akan lebih damai jika tidak ada agama yang sering menjadi alasan
manusia untuk berselisih, terpisah, dan saling menyakiti. "...Agama harus
menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat
orang atas nama agama itu..." Kartini mempertanyakan tentang agama yang
dijadikan pembenaran bagi kaum laki-laki untuk berpoligami. Bagi Kartini,
lengkap sudah penderitaan perempuan Jawa yang dunianya hanya sebatas tembok
rumah.
Bagaimanakah kenyataannya
sekarang ? Lihat foto untuk direnungkan
No comments:
Post a Comment