Editorial Maret 2013
Oleh : Mochtar Naim
28
Februari 2013
DALAM
berbagai forum dan kesempatan, baik dalam maupun luar negeri, saya sudah
mengemukakan konsep Negara Kesatuan dan Negara Persatuan dalam konteks sistem
kenegaraan di Indonesia, terutama yang bersifat pilihan terbaik ke masa depan.
Sementara sebelumnya, dalam perjalanan sejarah RI ini sejak dari hari
pertamanya dengan diproklamasikannya NKRI ini tgl 17 Agustus 1945, kitapun juga
sudah mengalami gejolak politik yang berkaitan dengan ini. Walau sebentar,
dengan hasil perundingan KMB (Konferensi Meja Bundar) di Den Haag, 1949, kita
juga sempat punya Negara federal dengan nama RIS, Republik Indonesia Serikat,
tapi berumur pendek. Tahun berikutnya, 1950, kita kembali ke NKRI.
Gambar: Kolonel Alex Evert Kawilarang Sumber Gambar :http://www.kopassus.mil.id/page.php?lang=id&menu=page_view&page_id=80
Sekarang setelah 2/3 abad, atau persisnya 67 tahun, berlalu, keinginan untuk kembali ke
Negara federal makin menggaung karena pengalaman suka-duka dalam ber NKRI ini
makin dirasakan keterbatasan dan kekakuannya dalam gejolak bernegara. Masalah
pertama kita adalah karena kita cenderung menantang arus dari kecenderungan
global yang terjadi di mana-mana. Kecenderungan globalnya itu adalah, makin
besar Negara itu makin terasa perlunya Negara itu diatur secara federalistik.
Di dunia ini hanya Negara-negara komunis dan diktatorial yang masih bertahan
pada Negara kesatuan, sementara negara-negara besar dan sedang sekalipun, di
manapun, dalam ukuran kependudukan dan luas wilayah, dan yang bercorak
demokratis, cenderung memilih dan bertahan pada Negara Persatuan, bukan
Kesatuan. Tak usah negara-negara sebesar USA, Kanada, Australia, India, Jerman,
dsb, negara-negara tetangga kita saja, seperti Malaysia, Thailand, Filipina,
yang ukurannya hanya sepersekian dari Indonesia, adalah Negara federal, bukan
unitaris. Sementara Negara-negara berukuran kecil, seperti Singapura, Brunai,
Vietnam, Srilanka, dsb, memanglah Negara kesatuan, bukan persatuan, yang
alasannya adalah logis semata. Rata2 negara2 federal di manapun, dalam proses
perjalanannya tidak ada yang ingin merubah diri untuk menjadi Negara kesatuan
seperti Indonesia ini. Nilai lebihnya segera dirasakan, bukan hanya
daerah-daerah lebih gampang mengatur diri sendiri, tapi juga demokrasi berjalan
lebih efektif dan lebih merakyat.
Dan yang
aneh justeru kita ini. Indonesia adalah Negara nomor 4 terbesar di dunia ini,
baik penduduknya maupun luas wilayahnya, apalagi Negara maritim terbesar pula
di dunia, dengan belasan ribu pulau2, yang hambatan transportasi dan komunikasi
memang sangat alami, tapi struktur dan system kenegaraannya adalah Negara
Kesatuan (unitary state), bukan Negara Persatuan (federal state).
Dari
pilihan kita dengan Negara Kesatuan itu juga terlihat sekali betapa kita
sebenarnya dikendalikan, bukan mengendalikan diri sendiri. Kita jadi obyek dari
kepentingan negara-negara kapitalis adikuasa seperti Amerika, Cina, dllnya itu
dalam menguasai dan mengendalikan ekonomi, politik dan sekaligus juga budaya
kita sejalan dengan maksud dan keinginan mereka. Dengan mengumbar hutang
sebanyak-banyaknya kita akan tetap menjadi selalu tergantung berhutang kepada
mereka seperti yang kita saksikan sendiri sekarang ini. Apatah lagi mereka tahu
bahwa Indonesia termasuk Negara dengan sumberdaya alam terkaya di dunia yang
sejak semula menjadi inceran mereka. Kendati kita mampu menjaga GNP kita di atas
ekspektasi dunia, tapi ketika kita bertanya: “siapa” yang menguasai dan
mengendalikan ekonomi nasional kita itu, kita semua akan terperangah dan
tersentak, bahwa ekonomi nasional kita dikuasai dan dikendalikan oleh korporasi
kapitalis multi-nasional dengan kelompok konglomerat non-pri yang membantu
mengelolakannya, dari hulu sampai ke muara, di darat, laut dan udara.
Nol-koma-delapan persen dari jumlah penduduk Indonesia yang adalah WNI non-pri
konglomerat, menguasai delapan puluh persen dari kekayaan nasional Indonesia
ini. Sementara sebaliknya, 80 % penduduk pribumi masih hidup di bawah 2 dolar
per hari, yang berarti di bawah garis kemiskinan. Yang terjadi lalu adalah,
Indonesia dikuasai dan dikendalikan oleh the three collaborative triumvirates:
multi-national capitalistic corporations, non-indegenous Chinese conglomerates,
and the indigenous feudalistic bureaucrats. Pantas kalau hasil sampingannya
adalah juga meruyaknya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme yang kaitannya
adalah juga pada sistem Negara kesatuan itu. Yang melakukan praktek KKN itu ke
depan kelihatannya adalah para birokrat tetapi yang di belakangnya adalah para
konglomerat dan korporasi multi-nasional yang saling bersekongkol dalam
kolaborasi triumvirat dalam menguasai ekonomi nasional Indonesia itu.
Itu
satu. Kedua, ada yang menganggap bahwa dengan kita ke depan merubah Negara
Kesatuan menjadi Negara Persatuan, maka
kita akan kembali ke jaman baheula, di mana masing-masing kelompok etnik akan
mengatur diri sendiri, yang kalau perlu punya pemerintahan otonomi
sendiri-sendiri. Kalau memang ke sana
arahnya, maka di Indonesia ini, dari 34 provinsi yang ada sekarang ini maka
akan ada sekian ratus provinsi, sebanyak jumlah kelompok etnik yang ada itu.
Dan orang Minang yang selama ini suka merantau ke sana ke mari ke seluruh
pelosok Indonesia ini, dari Sabang sampai ke Merauke, tidak akan bisa merantau
lagi. Dan kalaupun merantau hidupnya akan susah sekali.
Kalau
itu hanya sekadar gujegan-berseloroh atau karena kurangnya pemahaman tentang
arti Negara persatuan, alias Negara federal itu, tidak apalah. Tapi kalau itu dijadikan dalih beneran untuk
menolak konsep Negara Persatuan, baru itu benar2 persoalan. Negara Persatuan
itu tidak ke sana arahnya. Karena Indonesia tergolong ke dalam Negara besar,
dan bahkan nomor 4 terbesar di dunia, plus Negara maritim terbesar di seluruh
dunia, ke depan, tidak ada pilihan lain kecuali merubah struktur dan system
kenegaraan ini dari Kesatuan ke Persatuan, artinya, dari Unitary State ke Federal
State. Berangkat dari paradigma tersebut dan dengan memperhatikan kondisi
obyektif Indonesia dari berbagai segi potensi dan kekayaan alam serta sosial
dan budayanya, paling2 Indonesia akan
dibagi menjadi sejumlah Negara bahagian ataupun provinsi, yang tidak akan
terlalu jauh dari pembagian geografis-demografis yang ada. Di zaman Sutami
dahulu, wilayah pembangunan Indonesia dibagi ke dalam tujuh kelompok wilayah
yang basisnya berpola kepada wilayah Barat, Tengah dan Timur Indonesia. Bahwa
masing2 dibagi lagi ke dalam beberapa provinsi sebagai wilayah kesatuan
pembangunan, silahkan saja, dengan mungkin juga memasukkan unsur perhitungan
wilayah sosial-budaya. Tetapi jelas tidak ke dalam pembagian wilayah adat dan
sosial-budaya itu semata. Pendekatan integralistik dalam kemajemukan di sini
sangat diperlukan.
Persatuan
Indonesia dengan bentukan Negara federal justeru akan mem-perkuat ikatan Negara
berbangsa dan bertanah-air satu itu, seperti yang kita lihat prakteknya dengan
negara2 federal di manapun di dunia ini. Sebaliknya, Negara Kesatuan seperti
yang ada sekarang ini, seperti yang kita lihat dan rasakan sendiri, hanya
menguntungkan mereka yang menguasai pemerintahan pusat, di samping mengandalkan
pada kekuatan senjata dari kelompok militer. Dalam Negara kesatuan, daerah
adalah untuk pusat, sementara dalam Negara persatuan, pusat adalah untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat di daerah. ***
Sumber: http://groups.yahoo.com/group/RantauNet/message/168801?var=1
From: Mochtar Naim <mochtarnaim@...>
To: rantaunet rantaunet rantaunet <RantauNet@googlegroups.com>
No comments:
Post a Comment