Prof. Dr. Bambang Sugiharto, Guru Besar Filsafat Universitas Parahyangan, disamping
mengajar di Pasca Sarjana , FSRD, ITB, Bandung. Beliau adalah budayawan dan
kritikus seni dan sastra, penulis sejumlah buku, antara lain, Postmodernisme:
Tantangan bagi Filsafat, juga Dimensi Baru Etika dan Agama, dan mengeditori
antologi Humanisme dan Humaniora: Relevansinya Bagi Pendidikan. Profesor Doktor
Bambang Sugiharto (52) oleh kawan-kawannya dijuluki sebagai ”filsuf
underground”. Doktor filsafat yang lulus ”summa cum laude” dari Universitas San
Tomasso, Roma, Italia, itu bukan hanya gemar musik rock, tetapi juga dekat
dengan komunitas ”underground” Bandung. Di tengah situasi bangsa yang tengah
bingung dan korup, Bambang melihat harapan pada kaum ”underground” itu.
”Mau minum apa? Mau whisky cola?,” kata Bambang menawari minuman pada
Kompas saat bertandang ke ruang kerjanya di Fakultas Filsafat, Universitas
Parahyangan (Unpar), Jalan Nias, Bandung, pada suatu sore yang sejuk awal Maret
lalu.
”Saya suka strong taste (rasa berani),” kata Bambang yang dikukuhkan
sebagai guru besar ilmu filsafat di Unpar pada 16 Desember 2006.
”Sebagai intelektual de facto, saya masih menikmati musik rock. Saya
suka Korn, Limp Bizkit, Linkin Park he-he…. Untuk mood tertentu saya masih
dengerin itu semua,” kata Pembantu Dekan I di Fakultas Filsafat Unpar.
Apa sebenarnya yang tengah dialami bangsa ini
tampaknya ada semacam kebingungan?
Ini kompleks. Saya melihat salah satu sisi masyarakat Indonesia
sekarang baru terbangun dalam menyadari hak-haknya, tetapi mereka berbenturan
dengan sistem yang tak berjalan baik. Birokrasi yang macet dan etos kerja yang
begitu rendah. Mereka berhadapan dengan sistem yang tidak efektif untuk
mengelola bangunnya kesadaran atas hak-hak itu. Eksesnya, mereka menjadi
over-sensitif terhadap perlakuan sewenang-wenang.
Sensitivitas berlebihan itu terungkap dalam anarkisme. Itu cerminan
dari kebingungan dalam mengungkapkan hak, otonomi, dan kekuasaan. Kalau saya
lihat di televisi, setiap hari pasti ada kekacauan, demo. Entah itu akibat
penggusuran, PHK, atau ketidakpuasan lain.
Bagaimana peran tradisi atau agama?
Sistem atau pola perilaku baku yang mengendalikan perilaku atau etos
kerja itu pun sedang bubrah. Sistem pola baku, entah itu dari tradisi dan
agama, kini berhadapan dengan kemungkinan penawaran baru. Akibatnya, pola lama
menjadi tidak lagi berwibawa sebagai pegangan. Itu menambah kebingungan.
Korupsi itu bagian kebingungan? Termasuk wakil
rakyat sampai jaksa?
Hmm… tiba-tiba juga kita sedang terbuka dalam menikmati hidup,
menikmati komoditas. Kalau saya lihat di mal saya bertanya bagaimana mereka
bisa membiayai beli mainan yang sebenarnya mahal. Saya suka terheran-heran
karena situasi ekonomi sulit, tetapi dunia konsumsi meledak.
Itu menunjukkan pesona komoditas. Orang yang sudah capai miskin mencari
comfort (kenyamanan) supaya bisa mencicipi material. Bagi mereka yang punya
akses kekuasaan politik atau finansial yang lebih besar, segera masuk ke
wilayah itu dengan membabi buta yang mengakibatkan korupsi dan segala macam
itu.
Apa sebenarnya yang berada di balik budaya korupsi?
Yang lebih mendasar adalah kesulitan untuk konsisten dan berkomitmen.
Korupsi dalam berbagai bentuk itu bukan hanya soal uang, tetapi juga perilaku
dan kiblat nilai. Kita sulit sekali konsisten dalam kesetiaan, dalam
berkomitmen, dalam religi dan kiblat nilai.
Anarki
Sehari-hari Bambang mengendarai Kymco, sepeda motor bebek otomatis
untuk mengajar di Fakultas Filsafat Unpar di Jalan Nias. Tetapi, dia juga
mengajar di Program Pascasarjana Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB dan
FSRD Maranatha. Kadang dalam sehari ia harus wira-wiri ke tiga kampus itu.
Karena Bandung macet, demi efektivitas waktu Bambang memilih motor. Mobil hanya
digunakan untuk akhir pekan bersama keluarga.
”Saat naik motor saya alami betapa mudah saya menjadi bagian dari
anarki. Godaan menjadi anarkis itu luar biasa. Saya berpikir, motor adalah
kekuasaan paling sederhana yang dimiliki masyarakat bawah. Dengan motor, mereka
memiliki excitement dan kekuasaan. Mereka sikat trotoar, terabas lampu merah.
Situasi jalanan itu persis situasi birokrasi yang parah. Saya pikir itu juga
ada kaitannya dengan sistem yang tidak jalan.”
Apakah itu masalah ketidakmampuan mengorganisasi
segala sesuatu?
Ini masalah ketidakmampuan mengorganisasi diri yang parah. Membenahi
angkot saja tak jalan sampai puluhan tahun. Ketidakmampuan, bahkan untuk satu
hal yang sederhana, itu sesuatu yang mengerikan. Sementara sistem yang sudah
ada tidak jalan. Ketika kohesi kelompok menjadi sangat mengendur hal itu
menjadi semakin kacau karena yang terjadi adalah survival of the fittest. Yang
penting gue dulu selamat.
Apa sebenarnya di balik anarkisme itu?
Pada tataran politik saya kira kita sudah lama berada dalam situasi
keterjajahan yang parah. Pada masa Orde Lama, Orde Baru kita terus terjajah.
Dalam situasi seperti itu, mau tak mau kekuasaan menjadi menarik. Bukan karena
orang bisa menguasai orang lain, tetapi karena kekuasaan adalah privilege, hak
istimewa, bukan tanggung jawab.
Yang tertanam selama ini adalah atmosfer tertindas dan menindas
sehingga dalam setiap pilkada semua orang ingin menjadi gubernur, bupati,
bahkan presiden. Ada fenomena tragis waktu caleg, yaitu orang menjual apa pun
dengan harapan akan kembali sekian kali lipat. Bahwa itu akses pada kekayaan
dan kenyamanan. Saya kira itu motivasi sederhana bagi orang untuk memasuki
kekuasaan.
Saya sulit sekali menemukan orang yang bisa saya yakini masuk ke dalam
kekuasaan untuk bisa bertanggung jawab, untuk mengubah realitas.
Apakah kita tak punya kultur berorganisasi?
Saya curiga, itu bukan karena ketidakmampuan berorganisasi. Dalam
sistem kerajaan organisasi itu mestinya jalan. Dalam Orde Baru kehidupan
masyarakat sangat well organized—terorganisasi dengan sangat baik—sampai tingkat
RT, RW. Ada posyandu di desa-desa dan semuanya jalan. Itu yang saya kagumi pada
zaman Soeharto, yaitu kemampuan membuat struktur yang dahsyat sekali. Meskipun,
tentu saja, ada kelemahan.
Sistem yang top down, dari atas ke bawah?
Ya, sistem top down itu menjadi struktur untuk membungkam aspirasi dari
bawah. Itu seperti struktur dalam negara sosialis.
Kita lihat yang terjadi sekarang, ketika orang ingin mengungkapkan
aspirasi, strukturnya yang menjadi hancur. Ada atmosfer tidak percaya pada
struktur.
Krisis identitas
Dalam situasi bingung dan kacau, Bambang melihat gejala krisis
identitas. Orang kehilangan identitas dan bingung mencari pegangan.
”Intelektual merakit sendiri identitas mereka. Mereka tak andalkan
kategori baku, seperti agama, suku, atau ideologi. Mereka menjumput dari apa
pun. Mereka bangun identitas sendiri dengan bertualang atau mencampuradukkan
apa pun.”
Bagaimana nasib kelompok yang belum terdidik?
Masyarakat yang kurang terdidik, yang kemampuan kritisnya kurang
berkembang, mengalami gerak sentripetal. Mereka kembali ke sistem-sistem
harfiah. Pada agama itu bisa disebut fundamentalisme atau apa pun. Itu bisa
masuk dalam sistem agama atau etnik.
Gerakan ideologisasi identitas seperti itu sedang berkembang. Ada
kecenderungan dalam sistem identitas orang kembali pada sistem yang ada. Mereka
tertutup pada kecenderungan kritis dan revitalisasi.
Sebetulnya, hal ini menambah keruh situasi. Dalam situasi seperti ini,
identitas kolektif menjadi perpanjangan egosentrisme yang tidak realistis. Itu
lebih merupakan identitas kepanikan dalam ketidakmampuan mengelola hal baru
yang serba tak pasti. Akhirnya orang berlindung pada sesuatu yang pasti. Itu
akan menakutkan karena pasti akan kontraproduktif. Muncul kemudian
primordialisme yang berlebihan. Kalau di dalam agama itu adalah puritanisme
yang menakutkan. Puritanisme dalam arti harfiah, bukan pada kekokohan pada
prinsip moral, tetapi juga pada tendensi pemurnian atau pretensi memurnikan
ajaran. Itu menakutkan.
Saya tidak mengatakan itu jelek, tetapi ada unsur kontraproduktifnya.
Ada unsur mengelakkan tantangan yang sebetulnya riil. Saya kira, kita perlu
melihat identitas bukan sebagai sesuatu yang stereotip, baku dan mandek.
”Underground”
Apakah ada harapan di tengah kondisi seperti
sekarang?
Saya melihat ada sementara kelompok yang mengalami gerak sentrifugal.
Mereka keluar dari kerangkeng sistem dan membuat sistem sendiri. Keluar dari
situasi chaotic (kacau), kelabu, dan pesimistis seperti saat ini saya melihat
meriapnya gerakan mikro. Sebutlah itu mikro politik dalam bidang kebudayaan dan
pendidikan. Orang mencari jalan sendiri, merevitalisasi diri sendiri, dan
menggali kemampuan diri. Itu mengharukan.
Inisiatif, perpanjangan dari individualitas itu ternyata tidak selalu
jatuh pada primordialisme sempit. Dari mereka ada gairah membentuk gerakan
mikro. Misalnya, ada yang peduli pada situasi pendidikan. Mereka membuat
gerakan pendidikan alternatif untuk mengimbangi apa yang tak didapat di
sekolah. Daripada mengeluh terus.
Di Bandung ada kelompok kecil yang merintis toko buku alternatif.
Mereka menjual buku yang mungkin tak pasaran. Mereka punya komunitas
tersendiri.
Apakah gerakan underground dari Ujungberung juga
masuk dalam wilayah itu?
Itu lebih mengharukan lagi. Bagaimana dari kawasan pinggiran itu
tiba-tiba muncul kelompok yang menata diri. Dari sudut itu terlihat kemampuan
mengorganisasi diri, melembagakan di dalam band-band.
Mereka tidak main-main. Kiblat dan referensi mereka fantastis. Dari
wilayah yang kita kira pinggiran itu mereka punya akses internet ke denyut band
rock global. Tadinya saya tak percaya, tetapi ketika akhirnya saya terseret
masuk ke wilayah seperti itu saya sungguh kagum karena mutu musikal mereka
fantastis. Saya tak pernah bayangkan anak Ujungberung memasuki wilayah yang
sophisticate dalam bidang rock.
”Sophisticate?”
Ya, Ivan dari Burger Kill yang meninggal itu bacaannya George Orwell,
1984. Riwayat Ivan ditulis Ivan jadi novel. Mereka masuki wilayah sastra. Itu
terobosan dari wilayah pinggiran lewat pola mikro sampai akhirnya memasuki
wilayah dunia intelektual dengan cara sendiri.
Yang menarik, setiap komunitas kecil itu punya koneksi dengan komunitas
lain sehingga yang namanya pola organisasi dalam rangka jejaring itu
betul-betul riil. Kelompok underground itu juga berkaitan dengan distro,
penjual pakaian, dan toko buku. Itu menakjubkan.
Apa harapan dari kelompok mikro-politik itu?
Saya tak tahu itu akan bakal jadi apa. Mereka adalah orang-orang yang
masuk dalam jalur sentrifugal. Mereka berani menghadapi perubahan situasi
dengan nyali dan nalar serta dengan passion yang baru. Mereka menghadapi
perubahan tanpa panik, bahkan menyerbu dengan antusias. Ini sesuatu yang
menjanjikan.
Mereka bergerak mengandalkan reflektivitas sendiri. Artinya sambil
mengamit masa lalu mereka juga mengunyah yang baru, tetapi dengan gaya gue
sendiri. Seperti slogan MTV: gue banget.
Mereka dituduh antek kapitalis.
Kalau mereka dibilang budak dunia Barat, ternyata mereka punya jawaban
canggih. Mereka tahu apa itu wayang, calung. Bahkan si Kimung itu skripsinya
tentang sejarah angklung.
Anda dekat dengan kaum underground?
Saya pernah diundang kelompok underground. Semula saya ragu-ragu.
Bagaimanapun pergaulan saya di wilayah intelektual. Saya memang kenal sama
mereka, tetapi ketika harus berhadapan dengan—istilah
mereka—begundal-begundalnya, saya takut. Saya pernah diundang bicara dengan
mereka. Di luar dugaan mereka semua santun. Sedikit saja ada hal sensitif
mereka tepuk tangan.
Bagaimana Anda bicara dengan mereka?
Sewaktu saya harus berbicara di depan mereka, saya sempat berpikir, apa
mereka mengerti kalau saya ngomong, meski saya sederhanakan. Ternyata mereka
mengerti dan sangat apresiatif sehingga citra rock itu kekerasan non-sense. Itu
stereotip yang tak benar.
Sumber: http://www.kompas. com/kompascetak/ read.php? cnt=.xml.
2008.03.16. 01025718&channel=1&mn=183&idx=183
No comments:
Post a Comment