APAPUN namanya, KAPITALIS,
KORPORASI, KONGLOMERAT ya sama saja, mereka adalah para pemilik modal atau
memakai modal asing untuk menguasai hajat hidup orang banyak melalui sarana industri,
pertambangan, dan atau perkebunan besar dan sebagainya dengan manajemen yang canggih, dengan tujuan mendapat
keuntungan di Indonesia. Sebetulnya
mereka tidak salah, memang tujuan pemerintah adalah untuk memperoleh lapangan
kerja bagi masyarakatnya. Banyak perusahaan yang bergerak di Indonesia yang
akhirnya masyarakat mendapatkan kerja di perusahaan tersebut. Tetapi usaha
tanpa batas juga tidak baik, bayangkan mereka merebut usaha yang sebenarnya
dapat diusahakan juga oleh orang Indonesia. Akhirnya mematikan usaha
tradisional yang ada di Indonesia. Belum lagi soal buruh kontrak, upah murah, rakyat Indonesia hanya jadi pelayan dan konsumen produk asing di negeri sendiri. Dapatkah pemimpin yang baru dapat membuat angin segar bagi rakyat Indonesia ? Mana peran perguruan Tinggi di Indonesia, mana peran pengabdian masyarakat di PT untuk memajukan masyarakat? segudang pertanyaan yang muncul atas kerumitan masalah ini setelah Indonesia merdeka.
Banyak yang tidak menyadari, bahwa usaha-usaha itu memang ada di Indonesia, dikerjakan oleh buruh Indonesia, tetapi siapa yang memilikinya ? Misalnya mulai Aqua (74% sahamnya dikuasai perusahaan Danone asal
Prancis), atau minum teh Sariwangi (100 % sahamnya milik Unilever, Inggris),
minum susu SGM (milik Sari Husada yang 82% sahamnya dikuasai Numico, Belanda),
mandi dengan sabun Lux, sikat gigi pakai Pepsodent (milik Unilever), merokok
Sampoerna (97% sahamnya mililk Philips Morris, Amerika Serikat).
Untuk makan misalnya, nasinya pakai beras impor. Minuman pakai gula impor. Makan buah pakai
buah impor. Belum lagi soal tempe yang dipatenkan Jepang. Batik yang dipatenkan
Malaysia. Mebel Jepara dikuasai asing. Bahkan, kue gemblong yang panganan Jawa
itu pun konon sudah diproduksi di Jepang.
Lalu
berangkat kerja naik mobil, bus, motor, atau bajaj sekalipun semuanya bermerk
milik perusahaan asing. Di kantor segala ruangan penyejuknya (Air Conditioner)
menggunakan merek asing. Pakai computer, nonton teve, telepon selular termasuk
operatornya, semua sudah dimiliki perusahaan asing.
Mau
belanja pergi ke supermarket Carrefour, milik perusahaan Prancis, bahkan
supermarket Alfa pun sudah jadi milik Carrefour dengan penguasaan saham 75%.
Atau ke mall Giant, hypermarket itu milik Diary Farm International, Malaysia
(yang juga pemilik saham di supermarket Hero). Atau malam-malam cari cemilan ke
Circle K, juga merupakan waralaba asal perusahaan Amerika Serikat.
Mau
menabung atau mengambil uang di bank swasta nasional, mau bank yang mana saja
terserah : apa itu BCA, Danamon, BII, Bank Niaga, dan bank swasta nasional
lainnya, hampir semua bank swasta nasional itu sudah milik perusahaan asing
(sekalipun masih tetap melekat diistilahkan bank swasta nasional).
Bangun
rumah pakai semen Tiga Roda bikinan Indocement, kini sudah menjadi milik
Heidelberg, Jerman yang menguasai sekitar 61,70% saham. Atau mau pakai Semen Gresik,
juga sudah milik Cemex, Meksiko. Begitupun Semen Cibinong setali tiga
uang : 77,37 % sahamnya sudah dimiliki Holchim, Swiss. (Majalah Swa, Juli,
2006).
Orang
mungkin akan bilang, “Ah, sok nasionalis” ; ”kuno, kampungan!” atau alasan yang
lebih kerennya lagi : “DI era globalisasi ekonomi seperti ini, di zaman modern
seperti sekarang ini, tentunya kita tidak bisa menolak pengaruh dan terhindar
dari perdagangan internasional. Bangsa Indonesia akan jauh tertinggal, bahkan
kesulitan ekonomi, jika menolak masuknya investasi asing”. Begitulah ucapan yang
kerap dilontarkan para pengamat, bahkan pejabat pemerintah Indonesia, yang
intinya selalu membela bangsa asing. Padahal, dengan kondisi kita seperti
sekarang ini, sekalipun sudah banyak perusahaan asing bercokol di Indonesia
yang masuk menguasai berbagai bidang(sebagaimana disinggung di atas), toh
Indonesia masih saja jauh tertinggal dari Negara-negara tetangganya alias tetap
saja miskin.
Ada
pula yang berpendapat, investasi asing atau beralihnya kepemilikan perusahaan
local menjadi milik asing itu tidak masalah. Toh mereka (Baca: perusahaan
asing) membuka lapangan kerja, bayar pajak, menumbuhkan perekonomian nasional
(?), dan segudang alasan hebat lainnya.
Boleh
jadi di satu sisi bisa dipahami alasan itu. Tapi persoalannya , apakah kita
tidak mengelus dada melihat segala macam produk kebutuhan masyarakat itu telah
dikuasai dan demi keuntungan asing? Sudahkah dihitung berapa repatriasi
(pemulangan) keuntungan yang dibawa oleh perusahaan asing ke negerinya
masing-masing? Pasti besar, dan trilyunan rupiah. Sebab, logikanya, perusahaan
asing tentu tidak berinvestasi di Indonesia (dengan segala kemudahannya)
jika tidak meraup untung gila-gilaan. Lalu dampaknya? Pada gilirannya, kita
tidak akan kerepotan nantinya, lantaran begitu banyak dolar yang keluar dari
sini akibat repatriasi ini.
Patut
disadari, persoalan di sini bukan menolak perdagangan global, bukan menolak
perusahaan asing berinvestasi di Indonesia. Melainkan, yang jadi
persoalan adalah : bagaimana bisa perusahaan asing itu menguasai begitu dahsyat
pasar di Indonesia sementara kita hanya menjadi penonton?
Coba saja renungkan.
Andai saja perusahaan-perusahaan asing itu memang sejak
awal menanamkan modal lewat PMA (penanaman modal asing) dengan
ketentuan pembatasan saham dan bidang-bidang mana saja yang boleh dan tidak
boleh digarap, barangkali tidak begitu masalah. Tapi ini tidak demikian.
Perusahaan asing itu justru telah membeli (saham mayoritas) perusahaan lokal
(termasuk perusahaan plat merah yang di privatisasi) yang sebetulnya sudah
memiliki pasar dan menguntungkan. Jadi, sebetulnya perusahaan asing itu tinggal
memetik hasil keuntungannya. Ibarat kata, perusahaan asing itu ditawari barang
bagus, ya dibeli karena manjanjikan keuntungan yang berlipat-lipat.
Maka
, menjadi pertanyaan kemudian : kita (Negara ini) punya barang bagus, lho kok
dijual ke asing? Coba siapa yang berani bilang bahwa rokok keluaran Sampoerna
itu rugi? Tapi, toh saham Sampoerna dijual ke Marlboro. Atau siapa bilang
Indosat, telkomsel, Bank BCA, Semen Tiga Roda, itu perusahaan-perusahaan merugi
sehingga harus dijual ke asing?
Memang,
secara hitung-hitungan ekonomis, bagi pengusaha seasta local dengan menjual
sahamnya ke pihak asing akan mendapat fresh money yang besar. Seperti halnya
pemilik pabrik rokok Sampoerna mendapat uang tunai sebesar Rp 18,58 trilyun
dengan menjual 40% saham milik keluarga SAmpoerna ke Philips Morris pemegang
merk rokok Marlboro, asal Amerika Serikat. Bahkan selanjutnya Philip Morris pun
terus memburu saham SAmpoerna melalui penawaran tender, yang akhirnya menguasai
97% saham PT HM Sampoerna, dengan mengeluarkan dana Rp 45,066 trilyun. “Semua
kami bayar dengan dana tunai”, ungkap Martin King, sesaat setelah dinobatkan
menjadi Presdir HM Sampoerna yang baru (Kompas, 19 Mei 2005). Alhasil berpindah
tanganlah perusahaan lokal kebanggaan Indonesia itu ke tangan perusahaan asal
Amerika Serikat.
Jadi
pengusaha lokal membangun usaha, sudah maju, lalu saham dijual ke perusahaan
asing, dan mereka dapat duit gede. Ibaratnya jual beli perusahaan. Tak peduli
nasionalisme. Tak peduli perusahaan itu jatuh ke tangan asing. Begitulah cara
berpikir pedagang (pengusaha) : selalu cari untung.
Tapi
celakanya, cara berpikir (baca: mental) pedagang itu juga diadopsi
mentah-mentah oleh para birokrat, para pengelola negeri ini (baca : pejabat
pemerintah dan legeslatif), terutama pemegang otoritas perusahaan-perusahaan
Negara atau lebih akrab disebut BUMN. Alasannya : privatisasi !
Cara-cara
pengusaha swasta lokal yang menjual perusahaannya ke tangan asing atau pelepasan
saham pemerintah di BUMN itu ke pihak asing, sebetulnya bisa saja diproteksi.
Caranya melalui produk hukum yang ketat dengan batas-batas kepemilikan saham
perusahaan asing.
Jadi,
kalau sekarang ini perusahaan asing bisa merajalela menguasai lahan-lahan Indonesia,
tenttu saja hal ini besar kemungkinannya ada unsur kesengajaan dari pihak kita.
Dan hal inilah yang patut dipertanyakan : kenapa bisa ? alasan klasiknya,
lantaran ekonomi kita sedang krisis, pemerintah tidak punya duit, pemerintah
perlu menutup lobang APBN, dan alasan segudang lainnya. Namun apakah pembuat
kebijakan tidak memikirkan apa imbasnya, bagaimana untung ruginya untuk bangsa
ini, berapa besar repatriasi (pemulangan) yang dibawa bangsa asing dari negeri
ini, berapa banyak karyawan atau buruh yang menganggur? Bukankah dengan
membiarkan semakin jauh hal ini akan mengakibatkan tingginya ketergantungan
kita terhadap pihak asing? Dengan kata lain kita sudah menyerahkan diri di
bawah cengkraman atau atau dijajah pihak asing dan kita sudah tidak mempunyai
daya, harga diri, dan keberanian. Kita sudah dijajah tanpa senjata, tanpa harus
berperang.
Akan
tetapi alasan yang lebih mendekati benar adalah kondisi ini sengaja diciptakan
oleh bangsa kita sendiri lantaran para pegelola negeri ini (termasuk wakil
rakyat pembuat undang-undang) telah terjangkit mental korup, mental suap.
Betapak tidak, kondisi ketidakmampuan terhadap pihak asing ini diakibatkan oleh
lemahnya hukum (produk hukum). Karena melalui produk hukum inilah penguasaan
ekonomi Indonesia bisa mulus dilakukan pihak asing. Nah, produk hukum berupa
undang-undang atau perangkat peraturan lainnya itu nyatanya dapat dibuat sesuai
pesanan pihak asing. Tentu saja yang menjadi agennya adalah para birokrat dan
anggota legeslatif yang duduk menggodok undang-undang. Karena dari
tangan-tangan mereka lah undang-undang memperbolehkan kepemilikan asing itu
diterbitkan.
Kurang
yakin? Lihat saja kasus marak yang terjadi di pertengahan tahun 2008. Untuk
membuat amandemen UU No 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia saja, pejabat Bank
Indonesia harus menggelontorkan dana Rp 31,5 milyar untuk menyuap beberapa
anggota DPR Komisi IX. Kasus ini terkuak setelah diadilinya anggota DPR Komisi
IX Hamka Yandhu yang ditangkap KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan diadili
di pengadilan tipikor (Tindak Pidana Korupsi) (Koran Tempo, 7 Juli 2008). Nah ,
bukankh menjadi besar kemungkinannya pula untuk menggelontorkan undang-undang
yang melindungi kepentingan asing, para pembuat UU juga mendapat kucuran Ung
alias disuap?
Maka
patut menjadi perhatian pula jika kita melihat isi Peraturan Pemerintah No 20
Tahun 1994 tentang kepemilikan saham dalam perusahaan yang didirikan dalam
rangka penaman modal asing. Pada pasal 2 ayat 1 dinyatakan, intinya perusahaan
asing atau badan hukum asing boleh memiliki seluruh modal (saham) perusahaan di
Indonesia.
Belum
lagi jika kita buka UU Migas, UU bidang pertambangan (UU Minerba), UU penanaman
modal asing,kontrak karya pertambangan, dan lain sebagainya, dan seterusnya,
yang memperlihatkan dominasi dan keleluasaan pihak asing untuk menjarah
lahan di Indonesia. Lantas menjadi pertanyaan kemudian, mengapa sampai
keluar produk-produk hukum begitu? Apakah dalam membuat
peraturan-peraturan seperti itu tidak ada desakan dari ppihak asing? Apakah
pihak asing tidak ikut cawe-cawe atau mempengaruhi di balik layar saat membahas
keluarnya produk-produk hukum itu? Bukankah hal itu jelas-jelas menguntungkan
pihak asing? Apakah mungkin pihak asing itu bisa cawe-cawe secara gratisan
alias tidak pakai uang?
Mungkin
pengakuan John Penkins dalam bukunya Confenssions ofEconomic Hit Man akan
semakin membuka mata kita sekaligus membuktikan hahwa pihak asing ternyata ikut
mempengaruhi kebijakan pemerintah kita. Perkins menjelaskan bagaimana
keterlibatan asing yang terlalu jauh dalam perekonomian nasional. Bahkan
dirinya berperan sebagai agen perusak ekonomi yang beroperasi di
Indonesia untuk menjadikan ekonomi Indonesia tergantung dan dikuasai asing,
dengan berkedok sebagai konsultan pemerintah. Bahkan, tulisnya lagi, ada konspirasi
yang melibatkan lembaga-lembaga internasional yang selama ini kita
percayai akan membantu kita keluar dari krisis ekonomi (John Perkins, Pengakuan
Bandit Ekonomi, Ufuk Press, Agusutus, 2007).
Walhasil
kerusakan yang diarahkan oleh para agen perusak ekonomi itu sangat luar biasa;
Negara kita menjadi terlilit utang, rakyatnya miskin, ketergantungan impor,
dibawah cengkeraman pihak (perusahaan asing), dan menjauhkan kita dari bangsa
yang mandiri dan modern.
Namun
tragisnya, sekalipun ada pengakuan John Perkins itu, toh tetap saja pemerintah
masih mengikuti kebijakan (dan jebakan) ekonomi yang disodorkan lembaga-lembaga
internasional pemberi pinjaman, jadi kita ini seolah menggunakan kacamata kuda.
Jadi
bicara soal serbuan investasi asing ini tidak semata-mata Karena
hitung-hitungan ekonomis dan kebutuhan turut serta dalam trend pasar global
demi meningkatkan perekonomian nasional, atau pun menutup lubang APBN.
Melainkan aa udang di balik batu : pihak asing sangat ingin menguasai
pasar dan mengeruk sumber ekonomi kita. Karena bagaimanapun, negeri
dengan 220 juta penduduk beserta limpahan hasil buminya ini merupakan
jarahan yang potensial dan menarik untuk dikuasai. And ironisnya, untuk
mencapai maksud itu justru dibantu oleh para pengelola negeri ini.
Dikutip
dari : Di Bawah Cengkeraman Asing, oleh Wawan Tunggul Alam (halaman 11
sampai 26)
No comments:
Post a Comment