Automatic translation of this blog page: Terjemahan otomatis hal blog ini

Wednesday, July 9, 2014

Indonesia Hanya Untuk Orang Kaya ?


Diramu Oleh Nasbahry Couto

Tulisan ini adalah sambungan dari tulisan saya tentang kapitalisme di Indonesia, khususnya uraian Thomas Piketty, dan dampak buruk yang tengah dirasakan.

Saudara istri saya di Bandung bekerja di Pabrik garmen Pt. Matahari Sentosa di Cimahi, dan beberapa hari yang lalu dia memberi tahu bahwa akan ada perampingan tenaga kerja di pabrik, kata bos dia yang orang Tionghoa. Berarti dia akan dikeluarkan dari pekerjaan. Kalau mau masuk kerja lagi statusnya adalah buruh kontrak, dengan gaji 200 ribu per minggu. Padahal hari mau lebaran, katanya, coba pikir anaknya yang tertua di SD, masih belum bayar uang sekolah 800 ribu, dan tidak bisa mendaftar untuk naik kelas.  "Dapatkah kami hidup layak, ditengah situasi yang begini ? Tega-teganya pihak pabrik berbuat begini, keluhnya." Saat ini ada pemilihan presiden RI, dapatkan pemerintahan baru ini menangani masalah “buruh kontrak ini, yang gajinya tidak layak? Jangan kan untuk hidup bekeluarga, untuk hidup bujangan saja tidak cukup. Kami tidak dapat berbuat banyak, apalagi gaji pegawai negeri itu relatif kecil, jikapun ada bantuan pemerintah dengan nama “uang sertifikasi” itupun munculnya bersifat insidentil.


Ini adalah salah satu saja dari gambaran umum yang merata terjadi  di kota-kota besar di Indonesia. Kalau Anda pergi ke Bandung, umumnya tanah-tanah milik pribumi sudah di kuasai oleh “non pribumi, dijadikan lahan industri atau pabrik, toko, swalayan, permukiman dan sebagainya. Sebagian besar “tanah kami di Cimahi sudah jadi lahan pabrik”, kata saudara istri saya yang orang Sunda itu. “Mungkin pada suatu saat desa kami Lembur Sawah hanya tinggal nama, dan tidak ada di peta manapun, kecuali-pabrik-pabrik”. Budaya Sunda memang budaya feodal agraris yang masih lengket, Islam yang kuat, memandang tinggi rendah manusia dari kebajikan, alam lingkungan yang menyebabkan mereka tidak berpikir kritis dan menjadi sasaran empuk bagi masyarakat kota yang progresif.
Menurut  Atmazaki , peradaban (tamadun, maddana, civilization) atau masyarakat kota yang maju merupakan hegemony (penguasaan) secara sosialbudaya dan psikologis suatu bangsa dalam merealisasikan pemikiran, kreativitas, dan Ipteks. Hegemoni Barat dalam budaya populer dan Ipteks, misalnya, merupakan penguasaan Barat terhadap dunia dalam budaya populer dan Ipteks. Hegemoni Tionghoa dalam perdagangan merupakan penguasaan Tionghoa terhadap dunia dalam perdagangan. Secara sosial budaya dan psikologis mereka di atas dari bangsa-bangsa lain dalam bidang itu. Lebih khusus, secara psikologis, Barat dan China menganggap menguasai dunia dan superior. Dengan demikian, hegemoni menjadi dasar untuk mempunyai peradaban yang diakui.[1]
Indonesia Kini[2]

Masalah kependudukan, pekerjaan, kemiskinan dan lingkungan hidup memang menjadi sorotan akhir-akhir ini. Dan sering pula dikatakan bahwa teknologi dan industri dapat menjawab, masalah ini. Dikatakan juga bahwa kemajuan ekonomi Indonesia dapat mencapai 6 % setahun, tetapi siapa yang menikmatinya ? Menurut data yang dikeluarkan CIA Factbook, populasi Indonesia saat ini mencapai lebih dari 253 juta orang. GDP Indonesia diperkirakan mencapai $867,5 miliar dengan GDP Per capita mencapai $5,200, mengukuhkan Indonesia sebagai negara ekonomi terbesar ke-16 dunia. Boston Consulting Group tahun lalu merilis ada sekitar 74 juta warga kelas menengah di Indonesia saat ini, angka itu akan meningkat menjadi 141 juta orang pada 2020[3]

McKinsey & Company dua tahun lalu merilis data saat ini ada 45 juta warga kelas menengah di Indonesia dan akan ada tambahan 90 juta orang bergabung dalam segmen kelas ini pada 2030. Hal ini bisa dicapai dengan catatan Indonesia bisa menaikkan pertumbuhan ekonomi, memperbaiki regulasi yang tumpang tindih serta membangun infrastruktur.[4]

Perlu diingat, setiap lembaga memiliki ukuran sendiri saat menghitung jumlah kelas menengah sehingga terjadi perbedaan hasil dan angka.

Siapa itu kelas menengah? Ini juga relatif karena tidak ada definisi yang baku soal siapa kelas menengah. Asian Development Bank (ADB) mendefinisikan warga kelas menengah sebagai orang dengan rentang pengeluaran antara $2-$20 per hari[5]. Kelas menengah dibagi dalam tiga kelompok:

·         Lower Middle class                  : Pengeluaran $2-$4 per hari
·         Middle-middle class                 : Pengeluaran $4-$10 per hari
·         Upper-middle class                   : Pengeluaran $10-$20 per hari

Pada saat ini ada puluhan juta warga yang memiliki daya beli yang baik di Indonesia. Pengeluaran dan konsumsi yang dilakukan oleh kelas menengah berkontribusi 61% terhadap Produk Domestik Bruto (GDP)[6]. Secara ekonomi, dunia internasional melihat Indonesia jauh lebih baik dari sepuluh tahun lalu. Indonesia bahkan didaulat sebagai salah satu growth engine dunia.

Namun pendapat ini tidak sepenuhnya disetujui pengamat ekonomi. Faisal Basri menegaskan angka Koefisien Gini (ukuran ketimpangan distribusi) Indonesia memburuk menjadi 0,41. Artinya, kesenjangan dan jurang pendapatan maupun pengeluaran antara golongan kaya dan miskin makin parah.

Dalam blognya, Faisal mengulas buku berjudul “Capital in the Twenty-First Century” karya Thomas Piketty. Faisal mencontohkan Amerika Serikat sebagai negara maju yang paling timpang pendapatannya. Penelitian terbaru oleh Saez  menunjukkan 10% orang terkaya di Amerika menikmati 50,4% pendapatan nasional[7].




Menurut Faisal, Indonesia mengikuti tren Amerika. Pola ketimpangan ekonomi di Indonesia juga membentuk huruf U.


Jadi siapa sesungguhnya yang menikmati pertumbuhan ekonomi 5-6% selama sepuluh tahun terakhir ini? Memang benar bahwa GDP per capita Indonesia meningkat, namun siapa yang paling menikmati?

Mengutip ekonom Amerika, Joseph Stiglitz, dalam bukunya “The Price of Inequality”, ternyata GDP per capita bukanlah untuk menjelaskan kemakmuran suatu negara. Sebab yang menikmati hanya segelintir orang kaya dan pihak asing. Indonesia sebenanya terpengaruh dan menjadi bayang-bayang terhadap apa yang terjadi di Amerika. Mungkin agak berlebihan jika dikatakan bahwa kita tidak hanya mendapat bantuan modal dan kapital, tetapi juga "budaya"dimana "siapa yang kuat itulah yang menang".

Renungan saat Pemilihan Capres 2014

Hari-hari ini kita masih mendengar banyak anak putus sekolah, orang-orang tua tidak mampu membayar biaya rumah sakit. Pengemis keleleran di jalanan, prostitusi merajalela, tindak kriminal makin canggih, kekerasan atas nama agama dibiarkan.

Papua masih miskin meski di bawah kaki mereka terhampar emas dan kekayaan bumi. Warga di Kalimantan harus menanggung pemutusan arus listrik hampir setiap hari, meski tanahnya kaya akan batu bara, minyak dan gas.

Tanah-tanah subur dialihfungsikan, menyebabkan produksi bahan pangan inti menurun. Keran impor dibuka seluas-luasnya! Beras, gandum, singkong, bawang, daging sapi, susu, kedelai, dan yang lainnya. Hutan dibabat, supaya pengusaha kelapa sawit semakin kaya raya, supaya konglomerat kayu makin tebal dompetnya. Laut kita dijarah tetangga. Padahal ikan-ikannya bisa memenuhi perut anak-anak yang lapar di penjuru nusantara. Korupsi dibiarkan! Ya dibiarkan! Yang ditangkap baru pemain-pemain kecil. Bukan karena KPK tidak bisa, tapi pemerintah kita yang gagal memperkuat mereka.

Jika kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia terjamin, masalah-masalah yang saya sebut di atas bisa diselesaikan dengan lebih mudah. Ketimpangan ekonomi inilah yang menjadi kunci terjadinya masalah-masalah sosial.  Buruknya kinerja lembaga penegak hukum ikut menyuburkan permasalahan-permasalahan yang ada.

Bagi saya siapapun yang menang dalam pemilihan capress 2014 ini, seyogyanya memperhatikan jeritan rakyat kecil Indonesia, dan mengatasi kemelut yang ada.


No comments: