Diramu Oleh
Nasbahry Couto
Tulisan ini
adalah sambungan dari tulisan saya tentang kapitalisme di Indonesia, khususnya uraian Thomas Piketty, dan dampak
buruk yang tengah dirasakan.
Saudara istri
saya di Bandung bekerja di Pabrik garmen Pt.
Matahari Sentosa di Cimahi, dan beberapa
hari yang lalu dia memberi tahu bahwa akan ada perampingan tenaga kerja di
pabrik, kata bos dia yang orang Tionghoa. Berarti dia akan dikeluarkan dari
pekerjaan. Kalau mau masuk kerja lagi statusnya adalah buruh kontrak, dengan
gaji 200 ribu per minggu. Padahal hari mau lebaran, katanya, coba pikir anaknya
yang tertua di SD, masih belum bayar uang sekolah 800 ribu, dan tidak bisa
mendaftar untuk naik kelas. "Dapatkah
kami hidup layak, ditengah situasi yang begini ? Tega-teganya pihak pabrik
berbuat begini, keluhnya." Saat ini ada pemilihan presiden RI, dapatkan
pemerintahan baru ini menangani masalah “buruh kontrak ini, yang gajinya tidak layak? Jangan kan untuk hidup bekeluarga, untuk hidup bujangan saja tidak cukup. Kami tidak
dapat berbuat banyak, apalagi gaji pegawai negeri itu relatif kecil, jikapun
ada bantuan pemerintah dengan nama “uang sertifikasi” itupun munculnya bersifat
insidentil.
Ini adalah
salah satu saja dari gambaran umum yang merata terjadi di kota-kota besar di Indonesia. Kalau Anda
pergi ke Bandung, umumnya tanah-tanah milik pribumi sudah di kuasai oleh “non
pribumi, dijadikan lahan industri atau pabrik, toko, swalayan, permukiman dan
sebagainya. Sebagian besar “tanah kami di Cimahi sudah jadi lahan pabrik”, kata
saudara istri saya yang orang Sunda itu. “Mungkin pada suatu saat desa kami Lembur Sawah hanya tinggal nama, dan
tidak ada di peta manapun, kecuali-pabrik-pabrik”. Budaya Sunda memang budaya feodal
agraris yang masih lengket, Islam yang kuat, memandang tinggi rendah manusia
dari kebajikan, alam lingkungan yang menyebabkan mereka tidak berpikir kritis
dan menjadi sasaran empuk bagi masyarakat kota yang progresif.
Menurut Atmazaki , peradaban (tamadun, maddana, civilization) atau masyarakat kota yang maju merupakan hegemony (penguasaan) secara sosialbudaya dan psikologis suatu bangsa dalam merealisasikan pemikiran, kreativitas, dan Ipteks. Hegemoni Barat dalam budaya populer dan Ipteks, misalnya, merupakan penguasaan Barat terhadap dunia dalam budaya populer dan Ipteks. Hegemoni Tionghoa dalam perdagangan merupakan penguasaan Tionghoa terhadap dunia dalam perdagangan. Secara sosial budaya dan psikologis mereka di atas dari bangsa-bangsa lain dalam bidang itu. Lebih khusus, secara psikologis, Barat dan China menganggap menguasai dunia dan superior. Dengan demikian, hegemoni menjadi dasar untuk mempunyai peradaban yang diakui.[1]
Indonesia Kini[2]
Masalah kependudukan, pekerjaan, kemiskinan dan lingkungan
hidup memang menjadi sorotan akhir-akhir ini. Dan sering pula dikatakan bahwa
teknologi dan industri dapat menjawab, masalah ini. Dikatakan juga bahwa
kemajuan ekonomi Indonesia dapat mencapai 6 % setahun, tetapi siapa yang
menikmatinya ? Menurut data yang dikeluarkan CIA Factbook, populasi Indonesia
saat ini mencapai lebih dari 253 juta orang. GDP Indonesia diperkirakan
mencapai $867,5 miliar dengan GDP Per capita mencapai $5,200, mengukuhkan
Indonesia sebagai negara ekonomi terbesar ke-16 dunia. Boston Consulting Group
tahun lalu merilis ada sekitar 74 juta warga kelas menengah di Indonesia saat
ini, angka itu akan meningkat menjadi 141 juta orang pada 2020[3]
McKinsey & Company dua tahun lalu merilis data saat
ini ada 45 juta warga kelas menengah di Indonesia dan akan ada tambahan 90 juta
orang bergabung dalam segmen kelas ini pada 2030. Hal ini bisa dicapai dengan
catatan Indonesia bisa menaikkan pertumbuhan ekonomi, memperbaiki regulasi yang
tumpang tindih serta membangun infrastruktur.[4]
Perlu diingat, setiap lembaga memiliki ukuran sendiri
saat menghitung jumlah kelas menengah sehingga terjadi perbedaan hasil dan
angka.
Siapa itu kelas menengah? Ini juga relatif karena tidak
ada definisi yang baku soal siapa kelas menengah. Asian Development Bank (ADB)
mendefinisikan warga kelas menengah sebagai orang dengan rentang pengeluaran
antara $2-$20 per hari[5]. Kelas menengah dibagi dalam tiga kelompok:
·
Lower Middle
class
: Pengeluaran $2-$4 per hari
·
Middle-middle
class :
Pengeluaran $4-$10 per hari
·
Upper-middle
class :
Pengeluaran $10-$20 per hari
Pada saat ini ada puluhan juta warga yang memiliki daya
beli yang baik di Indonesia. Pengeluaran dan konsumsi yang dilakukan oleh kelas
menengah berkontribusi 61% terhadap Produk Domestik Bruto (GDP)[6]. Secara ekonomi,
dunia internasional melihat Indonesia jauh lebih baik dari sepuluh tahun lalu.
Indonesia bahkan didaulat sebagai salah satu growth engine dunia.
Namun pendapat ini tidak sepenuhnya disetujui pengamat
ekonomi. Faisal Basri menegaskan angka Koefisien Gini (ukuran ketimpangan
distribusi) Indonesia memburuk menjadi 0,41. Artinya, kesenjangan dan jurang
pendapatan maupun pengeluaran antara golongan kaya dan miskin makin parah.
Dalam blognya, Faisal mengulas buku berjudul “Capital in the
Twenty-First Century” karya Thomas Piketty. Faisal mencontohkan Amerika Serikat
sebagai negara maju yang paling timpang pendapatannya. Penelitian terbaru oleh
Saez menunjukkan 10% orang terkaya di Amerika menikmati 50,4% pendapatan
nasional[7].
Menurut Faisal, Indonesia mengikuti tren Amerika. Pola
ketimpangan ekonomi di Indonesia juga membentuk huruf U.
Jadi siapa sesungguhnya yang menikmati pertumbuhan
ekonomi 5-6% selama sepuluh tahun terakhir ini? Memang benar bahwa GDP per
capita Indonesia meningkat, namun siapa yang paling menikmati?
Mengutip ekonom Amerika, Joseph Stiglitz, dalam bukunya “The Price of Inequality”, ternyata GDP per capita bukanlah untuk menjelaskan
kemakmuran suatu negara. Sebab yang menikmati hanya segelintir orang kaya dan
pihak asing. Indonesia sebenanya terpengaruh dan menjadi bayang-bayang terhadap apa yang terjadi di Amerika. Mungkin agak berlebihan jika dikatakan bahwa kita tidak hanya mendapat bantuan modal dan kapital, tetapi juga "budaya"dimana "siapa yang kuat itulah yang menang".
Renungan saat Pemilihan Capres 2014
Hari-hari ini kita masih mendengar banyak anak putus
sekolah, orang-orang tua tidak mampu membayar biaya rumah sakit. Pengemis
keleleran di jalanan, prostitusi merajalela, tindak kriminal makin canggih,
kekerasan atas nama agama dibiarkan.
Papua masih miskin meski di bawah kaki mereka terhampar
emas dan kekayaan bumi. Warga di Kalimantan harus menanggung pemutusan arus
listrik hampir setiap hari, meski tanahnya kaya akan batu bara, minyak dan gas.
Tanah-tanah subur dialihfungsikan, menyebabkan produksi
bahan pangan inti menurun. Keran impor dibuka seluas-luasnya! Beras, gandum,
singkong, bawang, daging sapi, susu, kedelai, dan yang lainnya. Hutan dibabat,
supaya pengusaha kelapa sawit semakin kaya raya, supaya konglomerat kayu makin
tebal dompetnya. Laut kita dijarah tetangga. Padahal ikan-ikannya bisa memenuhi
perut anak-anak yang lapar di penjuru nusantara. Korupsi dibiarkan! Ya
dibiarkan! Yang ditangkap baru pemain-pemain kecil. Bukan karena KPK tidak
bisa, tapi pemerintah kita yang gagal memperkuat mereka.
Jika kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia
terjamin, masalah-masalah yang saya sebut di atas bisa diselesaikan dengan
lebih mudah. Ketimpangan ekonomi inilah yang menjadi kunci terjadinya
masalah-masalah sosial. Buruknya kinerja
lembaga penegak hukum ikut menyuburkan permasalahan-permasalahan yang ada.
Bagi saya siapapun yang menang dalam pemilihan capress
2014 ini, seyogyanya memperhatikan jeritan rakyat kecil Indonesia, dan
mengatasi kemelut yang ada.
Beberapa sumber
No comments:
Post a Comment