Aktivitas mengunggah foto atau potret orang lain,
yang disertai dengan penjelasan di bawah foto/potret tersebut sekarang semakin
marak, apalagi dengan semakin seringnya publik menggunakan fasilitas media
sosial atau internet. Ketika foto/potret tersebut dipublikasikan tanpa
seizin orang yang difoto, orang yang mengunggah foto/potret tersebut bisa
dihukum.
Perlu diketahui bahwa pada saat ini, sudah ada Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UUHak Cipta 2014”) yang mencabut Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (“UU
Hak Cipta 2002”) Republik Indonesia. Berdasarkan UU Hak Cipta 2014,
potret adalah karya fotografi dengan objek manusia (Pasal 1 angka 10 UU Hak
Cipta 2014), dan ini adalah salah satu ciptaan yang dilindungi dalam UU
hak cipta (Pasal 40 ayat (1) UU Hak Cipta 2014).
Sebelumnya, UU Hak Cipta 2002 memang mengatur bahwa
pencipta atau pemegang hak cipta atas potret seseorang harus mendapatkan izin
dari orang yang dipotret, atau izin ahli warisnya ketika ingin melakukan
publikasi atas potret yang dimaksud (Pasal 19 UU Hak Cipta 2002). Namun,
ketentuan seperti ini tidak lagi tercantum dalam UU Hak Cipta 2014.
Sebagai gantinya, Pasal 12 UU Hak Cipta 2014 melarang Penggunaan
Secara Komersial, Penggandaan, Pengumuman, Pendistribusian, dan/atau Komunikasi
atas Potret yang dibuatnya guna kepentingan reklame atau periklanan secara
komersial tanpa persetujuan tertulis dari orang yang dipotret atau
ahli warisnya.
Yang dimaksud dengan "kepentingan reklame atau
periklanan" adalah pemuatan potret antara lain pada iklan, banner,
billboard, kalender, dan pamflet yang digunakan secara komersial.
Pelanggaran atas larangan di atas diancam pidana denda paling banyak Rp500.000.000
(lima ratus juta rupiah) (Pasal 115 UUHak Cipta 2014).
Tentunya, tetap ada pengecualian atas larangan dalam Pasal 12 UU Hak Cipta
2014, misalnya:
Untuk kepentingan keamanan, kepentingan umum,
dan/atau keperluan proses peradilan pidana, instansi yang berwenang dapat
melakukan Pengumuman, Pendistribusian, atau Komunikasi Potret tanpa harus
mendapatkan persetujuan dari seorang atau beberapa orang yang ada dalam Potret
(Pasal 14 UU Hak Cipta 2014).
Pemilik dan/atau pemegang Ciptaan fotografi berhak
melakukan Pengumuman Ciptaan dalam suatu pameran umum atau Penggandaan dalam
suatu katalog yang diproduksi untuk keperluan pameran tanpa persetujuan
Pencipta (Pasal 15 ayat (2) jo. Pasal 15 ayat (1) UU Hak Cipta 2014).
Dengan kata lain, ketika seseorang melakukan
publikasi atas potret orang lain bukan untuk tujuan komersial, maka kegiatannya
ini tidak dapat dihukum berdasarkan UU Hak Cipta 2014.
Meski ada pengecualian, masih ada aspek lain yang
perlu diperhatikan, salah satunya adalah pencemaran nama baik. Jika penjelasan
di bawah potret yang dipublikasikan isinya mencemarkan nama orang yang
dipotret, maka orang yang melakukan publikasi tetap bisa dihukum.
Misalnya saja, jika potret dan tulisan tersebut dipublikasikan di media sosial,
pengaturannya merujuk pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (“UU ITE”), yang mengatur sebagai berikut: “Setiap
Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”. (Pasal
27 ayat (3) UU ITE)
Walau mengatur mengenai pencemaran nama baik
melalui sistem elektronik, Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak memberikan penjelasan
lebih lanjut mengenai apa saja yang termasuk dengan pencemaran nama baik.
Tetapi jika merujuk secara historis, Josua Sitompul, S.H., IMM dalam
artikel Pencemaran Nama Baik di Media Sosial, Delik Biasa atau Aduan?,
menjelaskan bahwa Pasal 27 ayat (3) UU ITE mengacu pada ketentuan penghinaan
atau pencemaran nama baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), khususnyaPasal
310 dan Pasal 311 KUHP.
Oleh karena itu, mengenai apa saja yang termasuk
dalam pencemaran nama baik, bisa dilihat dalam Penjelasan Pasal 310 dan Pasal
311 KUHP. Mengenai Pasal 310 KUHP, R. Soesilo dalam buku Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal
DemiPasal, berpendapat bahwa untuk dapat dipidana dengan pasal tersebut,
penghinaan harus dilakukan dengan cara menuduh seseorang telah melakukan
perbuatan yang tertentu dengan maksud tuduhan itu akan tersiar (diketahui oleh
orang banyak). Perbuatan yang dituduhkan itu tidak perlu suatu perbuatan
yang boleh dihukum seperti mencuri, menggelapkan, berzinah, dan sebagainya, cukup
dengan perbuatan biasa, sudah tentu suatu perbuatan yang memalukan,
misalnya menuduh bahwa seseorangtelah masuk melacur di rumah persundalan; ini
bukan perbuatan yang boleh dihukum, akan tetapi cukup memalukan bagi yang
berkepentingan bila diumumkan.
Mengenai perbuatan yang dituduhkan dalam Pasal 310
KUHP ini, S.R. Sianturi dalam buku Tindak Pidana di KUHP Berikut
Uraiannya (hal. 560) berpendapat bahwa yang dituduhkan itu dapat
berupa berita yang benar-benar terjadi dan dapat juga “isapan jempol” belaka.
Dengan melihat ketentuan dan penjelasan di atas, setiap orang harus
hati-hati ketika memublikasikan foto/potret orang lain.
Sumber : dari berbagai sumber
No comments:
Post a Comment