Keputusan Tiongkok untuk mendirikan Asian Infrastructure Investment Bank mulai membuahkan hasil. Pemerintah Tiongkok menyebutkan setidaknya 35 negara telah mengajukan diri untuk bergabung di bawah payung baru konglemerat keuangan dunia pada Selasa (31/3).Dalam proyek bernilai seratus miliar dolar AS ini, Tiongkok melibatkan negara-negara berkembang yang membutuhkan pinjaman untuk memacu perekonomian mereka, serta negara industri yang giat mencari penawaran yang menguntungkan.Amerika, di satu sisi, menolak bergabung dengan struktur keuangan global yang dipimpin Tiongkok, dan hal tersebut sudah diperhitungkan.
Ini menunjukan logika pendekatan menang-kalah
yang dianut oleh AS terkait meningkatnya popularitas global Tiongkok, sekaligus
mengindikasikan keengganan AS mengendurkan cengkramannya pada pasar keuangan
global.
Pertanyaannya, bagaimana dampak kehadiran
bank raksasa ini terhadap posisi dan perspektif Rusia? Sejauh ini, Moskow masih
belum mengajukan diri untuk bergabung dengan Asian Infrastructure Investment
Bank. Apakah keputusan tersebut bijak, atau tidak?
Perang sanksi, masalah politik yang
memengaruhi situasi keuangan global, serta upaya AS untuk meningkatkan
kekayaannya dengan menciptakan kesepakatan dagang yang komprehensif dengan Uni
Eropa dengan mengorbankan para pebisnis dan pembayar pajak Eropa, semua itu
telah menggerogoti kredibilitas insitusi keuangan internasional yang ada,
seperti Bank Dunia dan IMF (International Monetary Funds/Dana Moneter
Internasional).
Kongres AS juga mengambil langkah yang tak
bijak dengan mencegah Tiongkok dan negara-negara berkembang lain yang hendak
melebarkan sayap di IMF. Hal tersebut mengakibatkan munculnya reaksi keras, dan
tanpa diduga menciptakan dukungan kuat bagi Asian Infrastructure Investment
Bank (AIIB) yang diusung Beijing.
Namun, gagasan untuk bergabung dengan bank
Tiongkok telah memicu rentetan kecaman dari Amerika Serikat, menciptakan
perpecahan dalam aliansi trans-Atlantik, dan meningkatkan harapan sekaligus
ketakutan akan rusaknya Konsensus Washington.
Asian Infrastructure Investment Bank didesain
secara khusus untuk memberi pendanaan bagi pembangunan jalan, proyek rel kereta
dan sumber energi, serta menjadi alternatif dari Bank Dunia dan lembaga
keuangan lain milik AS. Bank ini juga akan bersaing dengan lembaga pemberi
pinjaman dana serupa dari Jepang, Asian Development Bank (ADB), yang saat ini
merupakan pemberi pinjaman dana utama bagi negara-negara di Asia.
Untuk menghindari tuduhan mengambil
pendekatan yang tak adil dengan meminjamkan uang tanpa memberi transparansi,
Tiongkok berjanji akan mempertimbangkan opini semua pihak yang bergabung dengan
proyek mereka tersebut, bahkan memberi hak veto bagi peserta.
Langkah cerdas Beijing ini menciptakan
kebingungan di antara para sekutu AS yang setia. Akhirnya, beberapa dari mereka
memecah barisan dan memutuskan untuk bergabung dengan Tiongkok.
Inggris, Jerman, Prancis, dan Italia
mengajukan diri untuk bergabung dengan bank raksasa Tiongkok tersebut, langkah
yang dapat dikatakan sebagai "pembelotan" dan membuat Washington
geram, jelas untuk alasan yang masuk akal.
Namun, terdapat beragam intepretasi mengenai
langkah "berbalik arah" yang dilakukan oleh para negara-negara Eropa
ini.
Saat ini, pasar uang didominasi oleh dua
lembaga keuangan raksasa, Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional. Keduanya
muncul sebagai produk sistem Bretton Woods pada 1944, yang menyebabkan
terciptanya supremasi dolar Amerika sebagai satu-satunya mata uang yang
digunakan dalam struktur keuangan global.
Posisi AS ini tak pernah diganggu gugat,
hingga belakangan ini hierarki kekuatan ekonomi dunia mulai mulai berubah dan
menciptakan perang mata uang. Kata orang, uang bicara, dan sepertinya tak lama
lagi uang akan mulai bicara dalam aksen Tiongkok.
Pidato Presiden Jokowi
Pidato Presiden Jokowi di Jakarta dalam membuka
pertemuan negara-negara Asia dan Afrika untuk menandai 60 tahun peringatan
Konferensi Asia Afrika dapat dilihat sebagai pemersatu dunia berkembang melawan
kolonialisme dan mengarah pada gerakan non-blok era Perang Dingin.
Di antara para pemimpin yang mendengarkan
adalah Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe dan Presiden China Xi Jinping,
yang diharapkan akan bertemu di sela-sela konferensi, tanda terbaru dari
mencairnya hubungan antara rival-rival Asia tersebut.
Hubungan China-Jepang telah mendingin dalam
beberapa tahun terakhir akibat perseteruan mengenai peperangan kedua negara di
masa lalu dan juga sengketa wilayah dan persaingan regional.
Pembicaraan-pembicaraan bilateral di Jakarta
pada Rabu dapat mendorong pemulihan hubungan secara hati-hati yang dimulai
ketika Abe dan Xi bertemu dalam sebuah KTT di Beijing akhir tahun lalu.
Presiden Jokowi tidak menyebutkan Bank
Investasi Infrastruktur Asia (AIIB) yang diprakarsai China dan dilihat sebagai
ancaman bagi Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia yang didominasi Barat. Namun
Indonesia adalah salah satu dari hampir 60 negara yang menawarkan menjadi
anggota pendiri AIIB.
Amerika Serikat dan Jepang belum menyatakan
dukungan terhadap bank tersebut, yang dilihat sebagai upaya-upaya untuk
memperluas pengaruhnya di wilayah Asia Pasifik dan menyeimbangkan kekuatan
finansial China yang semakin meningkat.
"Ada realitas dunia yang bergeser...
Mereka yang mengatakan masalah-masalah ekonomi global hanya bisa diatasi melalui
Bank Dunia, IMF dan ADB, hal itu merupakan ide-ide usang," ujar Presiden
Jokowi.
"Perlu ada perubahan. Penting bagi kita
untuk membantun tatanan ekonomi internasional baru yang terbuka bagi
kekuatan-kekuatan ekonomi baru."
Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank
Dunia ada di pusat tatanan moneter Bretton Woods pasca Perang Dunia II yang
diciptakan oleh Amerika Serikat dan Eropa.
Indonesia mengundang kepala-kepala negara dan
pemerintah dari 109 negara-negara Asia dan Afrika, namun puluhan diantaranya
tidak hadir dan para pejabat mengatakan hanya 34 pemimpin yang muncul.
Berbicara dalam konferensi tersebut, Presiden
Zimbabwe Robert Mugabe mengatakan, negara-negara di Asia dan Afrika
"seharusnya tidak lagi terbatas pada peran sebagai eksportir bahan-bahan
baku dan importir barang-barang jadi."
Ia menyebutnya "peran yang secara
historis dibebankan pada kita oleh kekuatan kolonial dan dimulai dari hari-hari
kolonialisme."
Tatanan dunia telah berubah secara dramatis
sejak hampir 30 kepala negara berkumpul pada 1955 untuk membahas pembangunan
keamanan dan ekonomi jauh dari kekuatan-kekuatan global yang berseteru dalam
Perang Dingin.
Banyak dari negara-negara tersebut, seperti
China dan India. sekarang ada di tempat teratas seperti Grup 20 (G20) dan
memiliki kekuatan ekonomi signifikan.
Presiden Jokowi mengatakan kelompok itu
bertemu lagi dalam dunia yang sudah berubah namun tetap saja perlu bersatu
melawan dominasi "sekelompok tertentu" untuk menghindari
ketidakadilan dan ketidakseimbangan global.
Sumber:
http://www.voaindonesia.com/content/indonesia-serukan-arsitektur-global-finansial-yang-baru/2729742.html
http://indonesia.rbth.com/economics/2015/04/01/keuangan_dunia_dikuasai_as_tiongkok_ciptakan_alternatif_sumber_dana_27287.html
No comments:
Post a Comment