Automatic translation of this blog page: Terjemahan otomatis hal blog ini

Wednesday, April 22, 2015

Era baru: International Moneter Federation (IMF) dan ADB Lawan Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB)


Keputusan Tiongkok untuk mendirikan Asian Infrastructure Investment Bank mulai membuahkan hasil. Pemerintah Tiongkok menyebutkan setidaknya 35 negara telah mengajukan diri untuk bergabung di bawah payung baru konglemerat keuangan dunia pada Selasa (31/3).Dalam proyek bernilai seratus miliar dolar AS ini, Tiongkok melibatkan negara-negara berkembang yang membutuhkan pinjaman untuk memacu perekonomian mereka, serta negara industri yang giat mencari penawaran yang menguntungkan.Amerika, di satu sisi, menolak bergabung dengan struktur keuangan global yang dipimpin Tiongkok, dan hal tersebut sudah diperhitungkan.
Ini menunjukan logika pendekatan menang-kalah yang dianut oleh AS terkait meningkatnya popularitas global Tiongkok, sekaligus mengindikasikan keengganan AS mengendurkan cengkramannya pada pasar keuangan global.
Pertanyaannya, bagaimana dampak kehadiran bank raksasa ini terhadap posisi dan perspektif Rusia? Sejauh ini, Moskow masih belum mengajukan diri untuk bergabung dengan Asian Infrastructure Investment Bank. Apakah keputusan tersebut bijak, atau tidak?
Perang sanksi, masalah politik yang memengaruhi situasi keuangan global, serta upaya AS untuk meningkatkan kekayaannya dengan menciptakan kesepakatan dagang yang komprehensif dengan Uni Eropa dengan mengorbankan para pebisnis dan pembayar pajak Eropa, semua itu telah menggerogoti kredibilitas insitusi keuangan internasional yang ada, seperti Bank Dunia dan IMF (International Monetary Funds/Dana Moneter Internasional).
Kongres AS juga mengambil langkah yang tak bijak dengan mencegah Tiongkok dan negara-negara berkembang lain yang hendak melebarkan sayap di IMF. Hal tersebut mengakibatkan munculnya reaksi keras, dan tanpa diduga menciptakan dukungan kuat bagi Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) yang diusung Beijing.
Namun, gagasan untuk bergabung dengan bank Tiongkok telah memicu rentetan kecaman dari Amerika Serikat, menciptakan perpecahan dalam aliansi trans-Atlantik, dan meningkatkan harapan sekaligus ketakutan akan rusaknya Konsensus Washington.
Asian Infrastructure Investment Bank didesain secara khusus untuk memberi pendanaan bagi pembangunan jalan, proyek rel kereta dan sumber energi, serta menjadi alternatif dari Bank Dunia dan lembaga keuangan lain milik AS. Bank ini juga akan bersaing dengan lembaga pemberi pinjaman dana serupa dari Jepang, Asian Development Bank (ADB), yang saat ini merupakan pemberi pinjaman dana utama bagi negara-negara di Asia.
Untuk menghindari tuduhan mengambil pendekatan yang tak adil dengan meminjamkan uang tanpa memberi transparansi, Tiongkok berjanji akan mempertimbangkan opini semua pihak yang bergabung dengan proyek mereka tersebut, bahkan memberi hak veto bagi peserta.
Langkah cerdas Beijing ini menciptakan kebingungan di antara para sekutu AS yang setia. Akhirnya, beberapa dari mereka memecah barisan dan memutuskan untuk bergabung dengan Tiongkok.
Inggris, Jerman, Prancis, dan Italia mengajukan diri untuk bergabung dengan bank raksasa Tiongkok tersebut, langkah yang dapat dikatakan sebagai "pembelotan" dan membuat Washington geram, jelas untuk alasan yang masuk akal.
Namun, terdapat beragam intepretasi mengenai langkah "berbalik arah" yang dilakukan oleh para negara-negara Eropa ini.
Saat ini, pasar uang didominasi oleh dua lembaga keuangan raksasa, Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional. Keduanya muncul sebagai produk sistem Bretton Woods pada 1944, yang menyebabkan terciptanya supremasi dolar Amerika sebagai satu-satunya mata uang yang digunakan dalam struktur keuangan global.
Posisi AS ini tak pernah diganggu gugat, hingga belakangan ini hierarki kekuatan ekonomi dunia mulai mulai berubah dan menciptakan perang mata uang. Kata orang, uang bicara, dan sepertinya tak lama lagi uang akan mulai bicara dalam aksen Tiongkok.

Pidato Presiden Jokowi

Pidato Presiden Jokowi di Jakarta dalam membuka pertemuan negara-negara Asia dan Afrika untuk menandai 60 tahun peringatan Konferensi Asia Afrika dapat dilihat sebagai pemersatu dunia berkembang melawan kolonialisme dan mengarah pada gerakan non-blok era Perang Dingin.
Di antara para pemimpin yang mendengarkan adalah Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe dan Presiden China Xi Jinping, yang diharapkan akan bertemu di sela-sela konferensi, tanda terbaru dari mencairnya hubungan antara rival-rival Asia tersebut.
Hubungan China-Jepang telah mendingin dalam beberapa tahun terakhir akibat perseteruan mengenai peperangan kedua negara di masa lalu dan juga sengketa wilayah dan persaingan regional.
Pembicaraan-pembicaraan bilateral di Jakarta pada Rabu dapat mendorong pemulihan hubungan secara hati-hati yang dimulai ketika Abe dan Xi bertemu dalam sebuah KTT di Beijing akhir tahun lalu.
Presiden Jokowi tidak menyebutkan Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB) yang diprakarsai China dan dilihat sebagai ancaman bagi Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia yang didominasi Barat. Namun Indonesia adalah salah satu dari hampir 60 negara yang menawarkan menjadi anggota pendiri AIIB.
Amerika Serikat dan Jepang belum menyatakan dukungan terhadap bank tersebut, yang dilihat sebagai upaya-upaya untuk memperluas pengaruhnya di wilayah Asia Pasifik dan menyeimbangkan kekuatan finansial China yang semakin meningkat.
"Ada realitas dunia yang bergeser... Mereka yang mengatakan masalah-masalah ekonomi global hanya bisa diatasi melalui Bank Dunia, IMF dan ADB, hal itu merupakan ide-ide usang," ujar Presiden Jokowi.
"Perlu ada perubahan. Penting bagi kita untuk membantun tatanan ekonomi internasional baru yang terbuka bagi kekuatan-kekuatan ekonomi baru."
Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia ada di pusat tatanan moneter Bretton Woods pasca Perang Dunia II yang diciptakan oleh Amerika Serikat dan Eropa.
Indonesia mengundang kepala-kepala negara dan pemerintah dari 109 negara-negara Asia dan Afrika, namun puluhan diantaranya tidak hadir dan para pejabat mengatakan hanya 34 pemimpin yang muncul.
Berbicara dalam konferensi tersebut, Presiden Zimbabwe Robert Mugabe mengatakan, negara-negara di Asia dan Afrika "seharusnya tidak lagi terbatas pada peran sebagai eksportir bahan-bahan baku dan importir barang-barang jadi."
Ia menyebutnya "peran yang secara historis dibebankan pada kita oleh kekuatan kolonial dan dimulai dari hari-hari kolonialisme."
Tatanan dunia telah berubah secara dramatis sejak hampir 30 kepala negara berkumpul pada 1955 untuk membahas pembangunan keamanan dan ekonomi jauh dari kekuatan-kekuatan global yang berseteru dalam Perang Dingin.
Banyak dari negara-negara tersebut, seperti China dan India. sekarang ada di tempat teratas seperti Grup 20 (G20) dan memiliki kekuatan ekonomi signifikan.
Presiden Jokowi mengatakan kelompok itu bertemu lagi dalam dunia yang sudah berubah namun tetap saja perlu bersatu melawan dominasi "sekelompok tertentu" untuk menghindari ketidakadilan dan ketidakseimbangan global.

Sumber:
http://www.voaindonesia.com/content/indonesia-serukan-arsitektur-global-finansial-yang-baru/2729742.html

http://indonesia.rbth.com/economics/2015/04/01/keuangan_dunia_dikuasai_as_tiongkok_ciptakan_alternatif_sumber_dana_27287.html

No comments: