Automatic translation of this blog page: Terjemahan otomatis hal blog ini

Tuesday, October 20, 2015

Indonesia Creative Cities : Branding Sebuah Kota Kreatif hanya Utopia?

Diramu oleh : Nasbahry Couto
Kita harus berhati-hati dalam menerapkan kebijakan yang diadopsi dari Inggris di Asia, apalagi ketika masih ada banyak permasalahan sosial-ekonomi dan permasalahan pembangunan pesat yang tidak merata. Adopsi mentah-mentah kebijakan ekonomi kreatif seringkali malah tidak  memperhitungkan—bahkan memperparah—masalah struktural seperti kemiskinan, kurangnya (atau terbatasnya) lapangan kerja, segregasi etnis, dsb., apalagi di negara-negara yang sedang mengalami perkembangan pesat.


Prof. Lily Kong ( Konferensi Inter-Asia Cultural Studies 2013)

A. Pendahuluan

Kreatif secara epistemologi berarti sebuah kemampuan untuk membuat sesuatu yang baru, namun membutuhkan “ekosistem pendorong” untuk melakukannya, dan bersifat individual. Sehingga yang dimaksud Kota Kreatif adalah Kota yang memiliki berbagai “ekosistem kreatif” yang mampu memicu sebuah kota untuk menggerakkan sumber daya manusia (individu) yang ada didalamnya untuk memiliki kemampuan dalam membuat sesuatu yang baru.

Penggunaan Istilah Kota Kreatif ini berkembang sejak Charles Landry menulis buku The Creative City: A Toolkit for Urban Innovators tahun 1995. Pemikirannya ini kemudian di sambut baik di beberapa negara, terutama Inggris. Sehingga pelopor pemakaian konsep kreatifitas dalam berbagai kebijakan institusinya, adalah negara Inggris sejak tahun 1997. 



Workshop Kota kreatif di Padang, 19-20 oktober, 2015
sumber: https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10153688215909267&set=pcb.10153688216914267&type=3&permPage=1

Sejak tahun 2004 kemudian UNESCO menyusun sebuah program Creative Cities Network yang bertujuan untuk mengidentifikasi kota-kota di dunia yang di nilai sebagai Kota Kreatif dan membangun jejaring diantara mereka. 

Sedangkan Indonesia sendiri memanifestasikan kreatifitas dalam konteks pemerintahan melalui Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) yang saat itu dijabat oleh Marie Elka Pangestu. Kemudian kementrian pariwisata dan ekonomi kreatif ini pula yang akhirnya mendorong 5 Kota yaitu Solo, Bandung, Denpasar, Yogyakarta, dan Pekalongan untuk mengirimkan aplikasi untuk dinilai kelayakannya masuk dalam UNESCO Creative Citities Network pada tahun 2012, yang pada akhirnya hanya Kota Pekalongan yang dinyatakan lolos pada tahun 2014.

Konsep kota kreatif yang dikembangkan oleh UNESCO dalam program Creative Cities Network yang mensyaratkan adanya sinergitas antara Pemerintah, Akademisi, Pelaku Usaha, dan Masyarakat (Komunitas) yang sering disebut sebagai Quadro helix. Konsep inilah yang membawa inisiative dari Kota Solo dan Kota Bandung untuk mengawali upaya kerjasama untuk pengembangan Jejaring Kota Kreatif Indonesia yang diawali dengan membangun sinergitas quadro helix dimasing-masing kota. Upaya ini diawali dalam inisiatif untuk mengadakan konferensi Kota Kreatif Indonesia yang diselenggarakan di Kota Bandung pada bulan April 2015 dan melahirkan 10 prinsip Kota Kreatif yang detail manifestasi programnya akan dirumuskan dalam Konferensi Kota Kreatif Indonesia yang pertama dan juga inisiatif untuk mendeklarasikan Indonesia Creative Cities Conference di Solo pada bulan Oktober 2015 nanti.

Idealnya, Kota yang akan masuk dalam Indonesia Creative Cities Network adalah Kota yang berkomitmen membangun sinergi antar quadro helix tersebut, dan secara bertahap serta terencana berkeinginan menjalankan 10 prinsip kota kreatif Indonesia. Kondisi inilah yang menjadikan tanggungjawab bersama dalam hal ini perwakilan kota-kota yang sudah hadir di Bandung untuk memetakan kembali terkait relasi mereka dengan para pihak yang ada di kota mereka masing-masing. Sehingga pada akhirnya dalam Konferensi Kota Kreatif pertama di Solo tersebut bisa menjadi langkah awal untuk melangkah bersama dalam membangun hubungan yang sinergis para pihak di masing-masing Kota.
Nama Kegiatan 
Konferensi Kota Kreatif Indonesia

Waktu Pelaksanaan Kegiatan
22 – 25 Oktober 2015 di Kota Solo

Bentuk Kegiatan 
Kegiatan ini adalah 3 kegiatan yang akan diselenggarakan secara paralel yaitu; 
  • Konferensi Kota Kreatif Indonesia (ICCC) dan Deklarasi Jejaring Kota Kreatif Indonesia (ICCN)
  • Creative Expo
  • Pesta Rakyat 
Tujuan dan Target Kegiatan

Tujuan umum dari rangkaian kegiatan ini adalah sinergitas kerja bersama yang memberikan ruang kerjasama antar kota di Indonesia dalam pengembangan ekonomi kreatif. 
Tujuan khusus dari kegiatan ini adalah untuk berbagi pengalaman inspiratif dalam upaya membangun kesejahteraan masyarakat melalui ekonomi kreatif dari masing-masing kota. 
Target dari kegiatan ini adalah:
  1. Adanya dokumen kerja yang bisa menjadi kerangka program kelembagaan jejaring kota kreatif di Indonesia.
  2. Adanya kerjasama bisnis melalui expo yang menjadi ruang market place dan mempromosikan produk kreatif unggulan masing-masing Kota (ICCN Expo).
  3. Adanya pergerakan ekonomi yang bisa dirasakan secara langsung maupun tidak langsung oleh masyarakat dalam jejaring kota kreatif, yang perlu perangkat tolak ukur/ indicator keberhasilannya.
Format, Materi dan Fasilitator Kegiatan

A. Kegiatan konferensi ini akan diselenggarakan dengan format workshop, dengan narasumber dari 
  • Kementrian Pariwisata, Kepala BeKraf, Bp. Abdullah Azwar Anas - 
  • Bupati Banyuwangi periode 2010 - 2015, Bp. dr. H. M. Basyir Ahmad Syawie – 
  • Bupati Pekalongan periode 2010 – 2015. 
  • Propan dan dari Chiang May Mr. Martin Venzy Stalling, 
  • dari Penang Mr.Neil Khor. 
  • Kemudian dilanjutkan diskusi kelompok untuk membahas kerangka program dari 10 Prinsip Kota Kreatif.
10 Prinsip Kota Kreatif yaitu:
  1. Kota kreatif adalah kota yang welas asih. Kota yang menjunjung keanekaragaman sosial budaya yang berpijak pada nilai silih asih, silih asah dan silih asuh;
  2. Kota kreatif adalah kota yang inklusif. Kota terbuka yang memuliakan nilai-nilai kemanusiaan serta menumbuhkembangkan semangat kebersamaan, solidaritas dan perdamaian dunia;
  3. Kota kreatif adalah kota yang melindungi hak asasi manusia. Kota yang membela segenap hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakatnya;
  4. Kota kreatif adalah kota yang memuliakan kreativitas masyarakatnya. Kota yang memanfaatkan dan mengembangkan kecerdasan, kearifan lokal, ketrampilan, daya cipta, serta kemampuan nalar, ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai landasan penciptaan serta inovasi;
  5. Kota kreatif adalah kota yang tumbuh bersama lingkungan yang lestari, yang hidup selaras dengan dinamika lingkungan dan alam sekitar;
  6. Kota kreatif adalah kota yang memelihara kearifan sejarah sekaligus menbangun semangat pembaharuan untuk menciptakan masa depan yang lebih baik untuk seluruh masyarakatnya;
  7. Kota kreatif adalah kota yang dikelola secara transparan, adil dan jujur, yang mengedepankan milai-nilai gotong royong dan kolaborasi, serta membuka ases dan partisipasi masyarakat untuk terlibat membangun kotanya;
  8. Kota kreatif adalah kota yang dapat memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Kota yang selalu berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan, kebahagiaan dan kualitas hidup masyarakatnya;
  9. Kota kreatif adalah kota yang memanfaatkan energi terbarukan. Kota yang senantiasa berusaha untuk memenuhi kebutuhan energi secara bijak dan berkelanjutan;
  10. Kota kreatif adalah kota yang mampu menyediakan fasilitas umum yang layak untuk masyarakat, termasuk fasilitas yang ramah bagi kelompok masyarakat rentan dan berkebutuhan khusus.
B. ICCN Expo adalah sarana market place dan promosi Kota-kota peserta Konferensi untuk menggelar produk kreatif mereka masing-masing dalam rangka sinergitas bisnis antar kota dalam jejaring kota kreatif ini.

C. Sedangkan Pasar Rakyat ini adalah gerakan yang dibangun oleh masyarakat Solo, melalui SOLOPOLAH: Creative Movement dalam menyambut Konferensi Kota Kreatif di Solo.

Sumber: http://www.sccn.or.id/news/konferensi-kota-kreatif-indonesia.html
B. Pendorong Konsep Kreatif di Indonesia (British Council)

Sejak tahun 2007, konsep "Ekonomi Kreatif", "Industri Kreatif" dan "Kota Kreatif" telah menjadi istilah-istilah yang populer di Indonesia. Mengadopsi konsep yang diperkenalkan oleh pemerintah Inggris, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perdagangan kemudian menciptakan cetak biru Ekonomi Kreatif, dengan fokus pada pengembangan industri kreatif dan kota-kota kreatif. Setelah delapan tahun, industri kreatif Indonesia berkembang pesat, dengan banyak komunitas kreatif yang berkembang berdasarkan keterampilan kewirausahaan dan upaya sendiri.

Terinspirasi oleh keberhasilan sektor kreatif di Bandung, program ini merupakan penelitian bersama dengan fokus pada cara mengembangkan potensi kreatif di kota/ komunitas urban. Penelitian ini akan dimulai di Surabaya dan Makassar, dengan rencana jangka panjang untuk penelitian di kota-kota lain seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang dan Solo. Temuan dari penelitian ini akan dibagikan secara publik dan dapat digunakan sebagai rekomendasi kebijakan dan program aksi pemerintah. Pada saat yang sama, proses berjejaring dan berbagi antara kota-kota telah memungkinkan mereka untuk membentuk Jaringan Kota Kreatif di Indonesia.

Riset Kota Kreatif adalah program yang dipimpin oleh British Council, dalam kemitraannya dengan organisasi masyarakat setempat C2O Library dan Collabtive (Surabaya) dan Tanahindie (Makassar), dan knowledge partner Centre for Innovation Policy Governance (CIPG) dan ahli dari Inggris, Noema.

C. Sejarah Konsep Industri Kreatif dan Kota Kreatif

1944 – Industri Budaya

Istilah ini dipopulerkan oleh kalangan akademisi melalui kritik Adorno dan Horkheimer pada buku The Culture Industry: Enlightenment as Mass Deception (1944). Dari culture industry, ini kemudian berubah menjadi cultural industries, untuk menunjukkan kemajemukannya. Bukan itu saja, dengan muncul pergeseran wacana yang dikembangkan akademisi lain seperti Walter Benjamin dan Bernard Miège, yang mengatakan bahwa penyatuan budaya dalam kerangka kapitalis itu adalah suatu ajang tanding dan negosiasi, bukan sekedar kekalahan atau kooptasi pada kapitalisme. Kapitalisme, dengan sumber daya dan teknologi, dapat mendukung proses kreatif.

Akhir 1980 – Kota Kreatif

Charles Landry, satu pendiri think tank Comedia di Inggris, mendaklarasikan istilah Kota Kreatif dengan bukunya The CreativeCity: A Toolkit for Urban Innovators. Baginya, Kota Kreatif adalah “kota yang menciptakan lingkungan yang mendukung orang untuk memikirkan, merencanakan, dan bertindak dengan imajinasi dalam memanfaatkan kesempatan dan masalah kota, mengubah kesempatan menjadi pemecahan.” Menurut Landry, yang penting adalah keberadaan “piranti keras” (infrastruktur) dan “piranti lunak” (tenaga kerja yang dinamis, fleksibel dan memiliki kemampuan tinggi).

1997 – Adopsi Pemerintah Inggris

Pemerintah Inggris mengadopsi konsep industri budaya menjadi industri kreatif untuk diterapkan dalam salah satu sektor kebijakan utama mereka.

‘2000an – Perluasan Konsep Kebijakan Kota Kreatif  Richard Florida (2002)

Kota kreatif dan adanya kelompok masyarakat kelas kreatif menjadi populer dan mendunia oleh tulisan  Richard Florida The Rise of the Creative Class (2002). Tulisan ini menjadi salah satu sumber yang paling sering dikutip-kutip dan dijadikan landasan penerapan kebijakan Kota Kreatif, termasuk di Indonesia. Idenya sendiri sangat catchy dan mudah dicerna. 3T = Teknologi, Talenta, dan Toleransi.

Lihat artikel Cities and Creative Class (2005). Richard Florida mengungkapkan bahwa kota merupakan wadah bagi kreativitas (lihat bukunya). Sudah sejak lama kota menjadi kendaraan untuk memobilisasi, memusatkan, dan menghubungkan energi kreatif manusia didalamnya. Kota mengubah energi kreatif menjadi sebuah inovasi teknis dan artistik, membentuk jenis perdagangan dan industri baru, dan mengembangkan paradigma masyarakat serta peradaban. Dengan adanya ideologi konsep kota kreatif ini, perencana kota harus bertanggung jawab dalam mengambil tindakan mereka, untuk tidak hanya lagi menggunakan solusi fisik dalam memperbaiki lingkungan perkotaan, melainkan juga menumbuhkan suasana yang kreatif serta kekuatan jejaring dan kemitraan baru (Landry dan Bianchini, 1995).
Pada penerapan kebijakan, sering kali muncul dalam bentuk-bentuk tertentu:
  • Peningkatan Ruang Terbuka Hijau (RTH)
  • “Revitalisasi” (atau gentrification) kota tua
  • Branding kota yang menekankan gaya hidup, budaya, dan pusaka (heritage). 
Gagasan konsep kota kreatif ini terus berkembang di mana industri berat dan manufactur sudah tidak lagi di perkotaan. Sehingga terdapat pergeseran dari pentingnya geografi dan sumber daya alam yang sebelumnya vital dalam perekonomian kota, menjadi fokus pada manusia dan tempat-tempat lokasi produsen maupun konsumen kreativitas, baik dalam seni, budaya, teknologi atau sektor kreatif lainnya (Simeti, 2006).

D. Penerapan di Indonesia

Di Indonesia, semenjak 2011, Kementrian Pariwisata dan Budaya diubah menjadi Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, dengan rujukan utama kebijakan Inggris. Meskipun kebijakan ekonomi kreatif dan Pekan Produk Kreatif Indonesia, sepertinya —kalau tidak salah—sudah mulai digulirkan sejak 2005. Dokumen kebijakan Kemenparekraf dapat diunduh di http://indonesiakreatif.net.

E. Pro dan Kontra Industri Kreatif di Indonesia

Mengutip apa yang dikemukakan oleh Kathleen Azali, (2013), bahwa pada dasarnya label ekonomi/industri/kota kreatif itu sebenarnya hanya permasalahan kebijakan. Bukan tentang individu, kelas ataupun kota itu sendiri. 

Tanpa konsep kota kreatif sebenarnya individu dalam kota bisa jadi sudah kreatif dan walaupun ada yang tidak. Menurut Kathleen Azali dalam proses penerapannya sejauh ini, ada beberapa kritik terhadap ekonomi, industri dan kota kreatif, yang secara mendasar dapat dirangkum seperti berikut ini.

1. Ketidakjelasan: Apa Itu Sebenarnya Industri Kreatif?

Menurut Kathleen Azali (2013) tidak ada konsensus yang jelas sektor apa saja yang termasuk dalam industri kreatif. Yang diterapkan di Indonesia adalah 14 subsektor berdasarkan kategori yang dibuat oleh pemerintah Inggris, meski kemudian kategori kuliner ditambahkan, yaitu: (1) Arsitektur, (2) Desain, (3) Fesyen, (4) Film Video dan Fotografi, (5) Kerajinan, (6) Kuliner (sejak 2008), (7) Teknologi Informasi, (8) Musik, (9) Pasar Barang Seni, (10) Penerbitan dan Percetakan, (11) Periklanan, (12) Permainan Interaktif, (13) Riset dan Pengembangan, (14) Seni Pertunjukan, (15) Televisi dan Radio. 

Jika industri kreatif dilandasi oleh kreatifitas untuk menghasilkan produk kreatif yang dapat digunakan untuk menghasilkan hak milik intelektual dan keuntungan ekonomi:

  • Kenapa mayoritas industri kreatif adalah industri budaya dan media, tapi jarang sekali melibatkan bidang “keras” seperti pengobatan, penambangan, penelitian dan sains?
  • Apakah kreatifitas yang dimaksud di sini adalah budaya, estetika, dan media, bukan teknologi dan ilmiah?
  • Adanya paradoks dalam konsep: Industri yang bergerak di bidang budaya dan estetika dikuantifikasikan, sementara yang bergerak di bidang teknologi dan ilmiah malah tidak begitu diperhitungkan di dalam kategori ekonomi kreatif. Tidakkah semua industri memerlukan kreatifitas untuk bertahan hidup, jadi tidak terbatas pada orang-orang yang ada dalam profesi kreatif saja?

2. Seberapa Jauh “Industri Kreatif”  dapat Menguntungkan Secara Ekonomis?


Industri kreatif seringkali dikatakan menyelamatkan dan meningkatkan pendapatan. Pertanyaannya adalah, darimana perhitungan keuntungan itu didapatkan? Bagaimana pendapatan ini diukur, ketika subsektornya sendiri tidak jelas? Siapa saja yang pemasukannya diukur di sini? Logika statistik yang dicantumkan pemerintah dalam Studi Industri Kreatif 2007 (Apakah data ini benar?).
  1. Industri kreatif ini memberikan kontribusi PDB pada urutan ke 7 dari 10 sektor yang dianalisis, yaitu rata‐rata sebesar 104,638 Triliun Rupiah pada tahun 2002‐2006, di atas rata‐rata kontribusi sektor: pengangkutan dan komunikasi, bangunan, dan Listrik, gas, dan air bersih. 
  2. Pada periode 2002‐2006 industri kreatif mampu menyerap tenaga kerja dengan rata‐rata sebesar 5,4 juta pekerja di atau dengan tingkat partisipasi sebesar 5,8% serta dengan produktivitas tenaga kerja mencapai 19,5 juta per pekerja tiap tahunnya. 
  3. Produktivitas tenaga kerja pada sektor ini lebih tinggi dari produktivitas nasional yang hanya mencapai kurang dari 18 juta rupiah per pekerja per tahunnya.
  4. Jumlah perusahaan yang bergerak di sektor ini hingga tahun 2006 mencapai 2,2 juta, berkisar 5,17% dari jumlah perusahaan yang ada di Indonesia. Pada tahun 2006 ini pula, industri kreatif telah melakukan ekspor sebesar 81,5 triliun rupiah mencapai hingga 9,13% dari total ekspor Nasional.
Pertanyaannya: Dapat Angka-Angkanya dari Mana? 
Suatu hal yang tidak di sadari adalah dalam hal mengukur kinerja dan pemasukan uang bagi desainer. Umumnya desainer tidak mendapat , keuntungan dari kegiatannya, hal ini terjadi bukan saja pada bidang arsitektur tetapi juga bidang DKV , dan grafis umumnya. Bagaimana mengukur pemasukan desainer? Mau dari desainer yang diliput di majalah-majalah gaya hidup, sampai yang kerja jadi penata letak (layouter) di warnet? Yang diuntungkan cuma pemilik modal besar, misalnya pemilik mesin cetak digital. lihat  ini “Cetak murah, desain gratis? Contoh lain, siapa saja yang masuk kategori kuliner? Apakah data ini menggambarkan nilai pendapatan rata-rata subsektornya? lihat juga  tulisan ini.

Selain itu, kita juga cukup familiar dengan masalah “oversupply”lulusan perguruan tinggi "bidang kreatif"—banjir jurusan dan mahasiswa desain, arsitek, fesyen, dsb. Semua diarahkan menjadi entrepreneur atau creativepreneur. Umumnya sehabis lulus, mau kerja di mana? Apakah siap lapangan kerja yang ada untuk menyerap lulusan desain dan menggaji sesuai ekspektasi utopia kelas kreatif ini? Seberapa banyak pasar mampu menyerap produk-produk tersebut? Nyatanya tidak, sebab lulusan desain umumnya banyak menjadi pengangguran. Kalaupun tidak  upah sangat kecil.

3. Apakah Kebudayaan Terabaikan, dan Kreatifitas Menjadi Terkungkung?

Apakah ada maksud untuk menaruh seni dan kebudayaan di menara gading dan terpisah dari ekonomi ? Rasanya tidak. Sudah semenjak jaman dulu, selalu ada hubungan yang erat antara seni, kebudayaan dan ekonomi. Seniman, budayawan, sebagai “representasi” pelaku seni dan budaya, selalu mengambil bagian dalam sistem pasar, yang bekerja untuk kepentingan kelas tertentu. Masalahnya adalah ketika agenda di balik pembangunan sektor kreatif sepenuhnya dibuat berlandaskan perhitungan ekonomi.

Kerangka, tujuan kebijakan dan pengukur keberhasilan sepenuhnya dilandasi analisis dan pertumbuhan ekonomi. Kebudayaan dan kesenian kemudian hanya dihargai ketika dapat dipastikan membangun keuntungan ekonomi. Pembangunan industri budaya difokuskan pada yang paling menguntungkan secara ekonomi, dan seringkali malah mengekang dan mengabaikan potensi pertumbuhan sosial dan budaya.


4. Apakah “Tenaga Kerja Kreatif” itu Utopia ?

Konsep tenaga kerja “kreatif” seringkali dibingkai secara sangat utopia, dikaitkan dengan ketangguhan dan kelincahan anak muda, mampu bekerja sendiri, fleksibel, memiliki berbagai kemahiran dan mobilitas tinggi, dengan portfolio yang mengagumkan. Tapi perlu juga diperhatikan bahwa penekanan pada karakter “kreatif” ini kemudian bisa menjadi bumerang, antara lain:
  • Kerentanan atau hilangnya jaminan kerja, pemasukan stabil, akses yang makin berkurang pada pensiun, tanggungan kesehatan, eksploitasi, dan hilangnya perlindungan dari serikat kerja
  • Kondisi ini tidak terlalu menciptakan masalah bagi tenaga kerja yang memiliki banyak koneksi, jaringan atau modal ekonomi yang baik, tapi bisa makin mengisolasi mereka yang tidak memiliki akses tersebut.
  • Kerja kreatif seringkali membutuhkan mobilitas, jaringan sosial (pertemanan dan kenalan) dan akses informasi. Masalahnya kita tahu sendiri bagaimana buruk dan tidak meratanya infrastruktur transportasi dan komunikasi umum di Indonesia.
  • Utopia wacana “kreatif” yang menekankan “kreatifitas individu” sadar tidak sadar malah mengalihkan perhatian dari kebijakan struktural seperti ketimpangan kondisi hidup, ketimpangan kondisi kerja, dan kesemrawutan fasilitas umum mendasar seperti air bersih, listrik, transportasi, dsb. Padahal ini masalah mendasar yang perlu diperhatikan dalam penerapan kebijakan.

5. Apakah Kebijakan Industri Kreatif hanya Mendukung Perusahaan Besar (dan Ahli Eksternal) atau Mendukung Usaha Kecil-Sedang (dan Budaya Lokal)?

  • Dalam proses pencitraan (branding), orientasi masih pada ahli-ahli dan perusahaan-perusahaan ternama dari luar. Ahli-ahli dari luar seringkali diundang (dan dibayar sangat mahal) untuk menerapkan sesuatu—entah kebijakan ataupun pembangunan—yang tidak peka pada konteks penerapannya di Indonesia
  • Bagaimana dengan ahli-ahli dan perusahaan-perusahaan di kota itu sendiri? Sumber dalam kota seringkali kehilangan platform untuk tampil karena tidak mendapat penghargaan ataupun sumber yang mumpuni di kota sendiri, dan akhirnya hijrah ke kota lain (brain drain)
  • Dampaknya, jika tidak diimbangi,dapat menghilangkan pemahaman dan dukungan terhadap tenaga dan hasil kerja lokal
  • Hal ini juga erjadi antara "Pusat" dan "Daerah", dimana ahli-ahli budaya dan seni di daerah tidak pernah terlibat atau dilibatkan oleh pemerintah pusat 

6. Apakah Kreatifitas untuk Inovasi dan Ekonomi, atau untuk Kualitas dan Keadilan Sosial?

Strategi kelas kreatif bisa jadi kurang cocok diterapkan untuk menghidupkan kota yang masih memiliki banyak permasalahan dan ketimpangan sosial ekonomi, karena kebijakan ini seringkali tidak memperhitungkan masalah struktural seperti kemiskinan, kurangnya (atau terbatasnya) lapangan kerja, segregasi etnis (sosial).

Kebijakan Ekonomi Kreatif dapat  memperbesar jurang perbedaan antara “Kelas Kreatif” dan “Kelas Jasa” bergaji rendah (low-wage service underclass). Penciptaan ruang-ruang untuk “kelas kreatif” juga memerlukan OB, pembersih toilet, pemulung, PKL, penjaga warung, yang seringkali kurang mendapat tempat dalam pembahasan mengenai kelas kreatif. Umumnya fasilitas pendukung seperti warung dan pekerjaan-pekerjaan informal “dibersihkan” karena dianggap tidak sesuai dengan paradigma keindahan kota kreatif. Yang menjadi pertanyaan bagaimana pekerjaan informal dapat diakomodasi dalam kebijakan ekonomi kreatif.


Memperbesar jurang perbedaan antara “Kelas Kreatif” dan “Kelas Jasa” bergaji rendah (low-wage service underclass). Ruang-ruang kota yang diciptakan menggusur para pemangku ekonomi lemah.
Kebijakan ekonomi kreatif seringkali dibuat dengan harapan dapat menyelesaikan berbagai permasalahan sosial ekonomi di luar pembangunan ekonomi itu sendiri. Di Indonesia, kalau kita lihat lagi dari perencanaan pengembangan ekonomi kreatif, yang ditargetkan mulai dari pengentasan pengangguran, kemiskinan, hingga pemanasan global, perubahan iklim, dan sebagainya. Tapi bagaimana kita mau mengukur keberhasilan menyelesaikan masalah-masalah ini hanya dari pemasukan ekonomi dan pariwisata dan atau dari city branding seperti konsep Kota KreatifSebaiknya mempertimbangkan parameter yang berbeda dalam mengukur economic returns dan social returns. Industri boleh satu kategori, tapi bedakan—atau lengkapi—alat ukur kreatifitas untuk peningkatan ekonomi dengan alat ukur kreatifitas untuk pengembangan hubungan sosial dan peningkatan kualitas budaya.

7. Dapatkah "Branding" Kota Kreatif Diciptakan?
Konsep Kota Kreatif sedikit banyak menjadi populer karena tulisan Richard Florida The Rise of the Creative Class. Acapkali ini dipahami sebagai area perkotaan di mana kreativitas, pengetahuan dan inovasi berkembang karena adanya lingkungan dan teknologi, terbuka pada perbedaan, dan meningkatkan toleransi. 3T = Teknologi, Toleransi, untuk menarik Talenta.

Tapi kondisi 3T di atas tidak otomatis menarik individu untuk datang. Pertanyaannya, tidakkah orang akan pergi ke kota di mana ada prospek lapangan kerja, bukan sekedar karena keindahan kotanya? (Kecuali kalau untuk keperluan wisata.) Kota seharusnya memfokuskan pada penyediaan kesempatan kerja yang berkualitas dan setara daripada sekedar menjadi kota yang “keren” dari branding dan kulitnya saja. Misalnya dengan:
  • Meningkatkan pertumbuhan ekonomi mendasar
  • Meningkatkan kemampuan (skill), keterhubungan (connectivity) dan akses ke pasar dan lapangan kerja dengan lebih merata
  • Memastikan warga dapat mengakses kesempatan-kesempatan baru
  • Meningkatkan layanan publik utama, seperti transportasi, tempat tinggal, air bersih, sanitasi, listrik
  • Dukungan pendidikan dan pengembangan kemampuan
Contoh yang paling nyata saat ini adalah kota Bandung. Kota Bandung sudah dikenal menghasilkan berbagai industri dan individu kreatif (yang sebenarnya di sokong oleh perguruan tinggi seni yang ada di sini). Tapi dalam beberapa tahun terakhir, apa yang kita saksikan? Warganya pun mengeluh, kota Bandung menjadi semrawut, macet luar biasa menjelang akhir pekan dibanjiri oleh wisatawan Jakarta maupun mancanegara. Trotoar dan transportasi tidak terurus, listrik suka mati. Distro-distro yang awalnya dibangun industri-industri kecil mulai hilang, kalah bersaing dengan distro-distro yang dibuat bisnis besar. Banyak pekerja “kreatif”—mulai dari desainer butik hingga desainer pedagang kain di pasar—yang rentan terkena malpraktik seperti hasil karyanya dicuri dan tidak dibayar oleh pebisnis yang lebih besar. Ada baiknya kita memulai dengan membangun pemahaman dinamika industri kecil, menengah, dan besar dahulu untuk memastikan kompetisi, kerjasama dan daya tawar yang lebih sehat, setara dan lestari.

Pada akhirnya, sebagai sebuah kategori, industri kreatif cenderung latah dan kurang membantu karena yang dimasukkan begitu luas, semuanya bisa kreatif tanpa batas, tapi akhirnya malah tidak memiliki parameter analisis ataupun praktis yang jelas. Mau diganti nama pun—menjadi “smart city“, misalnya—percuma, kalau pemahamannya tidak diperjelas dahulu. Akhirnya cuma mengganti kulit dan nama saja tanpa membenahi isinya.

Namun, ini bukan berarti kita harus menolak industri/ekonomi/kota kreatif mentah-mentah. Kalau kita hanya berhenti pada tahap menolak, kita malah mundur, karena kritik seperti ini pun sudah dilakukan seabad yang lalu, bahkan mungkin lebih lama. Sekali lagi, jika Kota Kreatif adalah permasalahan penerapan kebijakan, ada baiknya kebijakan itu memulai dengan memfokuskan pada penciptaan kondisi ekologi dan infrastruktur yang mendukung kreatifitas dan penciptaan kondisi lapangan kerja yang baik. Kalau kita mau mengibaratkan dengan kesehatan manusia, percuma kota mau dipoles, di-branding sebagai kota kreatif, kalau urat nadi dan pembuluh darahnya—atau kebutuhan dasarnya—tidak sehat, dicekoki oleh kemacetan  di segala bidang dan terutama ketimpangan sosial ekonomi.

8. Dilema Industri Kreatif Indonesia

Bukankah industri besar seperti industri otomotif, industri perhotelan, industri parawisata, industri pakaian, industri elektronika, penerbitan  dan sebagainya sebagai ujung tombak industri kreatif? Yang diuntungkan tetap industri besar.


 Pameran motor modif, Bandung, 2015. Seniman dan desainer hanya sebagai pelaku "layanan  jasa industri" atau upahan pemilik modal.

Umumnya modal dan ekonomi dikuasai oleh "non pribumi". Hal ini dapat mengundang dilema jika pelaku seni kreatif tidak dapat bekerjasama dengan baik dengan pemilik modal.(lihat artikel ini) atau sebaliknya.

Dapat disimpulkan bahwa jika kita ingin "city branding" benahi infrastrukturnya terlebih dahulu, mulai dari perguruan tinggi, pemda dan steakholder yang ada dan juga ekonomi rakyat. Jika tidak "city brand" itu hanyalah sebuah utopia. 

E. Pro dan Kontra Ekonomi Kreatif dalam Kelembagaan
Tulisan selanjutnya adalah gema tentang pembelaan terhadap eksistensi industri kreatif dari segi kelembagaan. Dimana kebijakan yang mendudukkan lembaga ekonomi kreatif setara dengan kementerian, sekarang diubah menjadi  badan oleh presiden. Kekhawatiran itu justru datang dari Kadin (Kamar Dagang Indonesia, berikut ini.

Seperti yang diketahui, selama puluhan tahun, industri kreatif Indonesia seolah tidak punya induk. Baru sekitar 2,5 tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), memberikan ruang khusus pada industri ini secara kelembagaan dengan berdiri bersama di Kementerian Pariwisata. Padahal, potensi yang besar dengan motor penggerak anak muda dan komunitas telah melahirkan trend bisnis yang baru di bidang seni, film, animasi, budaya, musik, busana, kuliner dan sebagainya.

Pembentukan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif oleh pemerintahan Presiden SBY, dinilai sebagai langkah mempercepat pengembangan ekonomi kreatif nasional. Selama ini, Indonesia harus gigit jari bersaing dengan negara seperti Malaysia dan Singapura yang menggarap industri kreatif ini sebagai penyokong ekonominya. Gitaris Slank Abdee Negara mengatakan ekonomi kreatif di Indonesia meliputi musik, pertunjukan, animasi, kerajinan dan produk dalam negeri lainnya berpotensi besar menyumbang pendapatan negara. "Posisi ekonomi kreatif masih dipandang sebelah mata, padahal potensinya cukup bagus. Industri ini harus menjadi industri mainstream," ujarnya. Dalam paparannya soal ekonomi kreatif, Joko Widodo menegaskan pengembangan ekonomi kreatif menyangkut pengembangan potensi generasi muda yang berusia 20 sampai 30 tahun.

"Indonesia memiliki kekayaan seni pertunjukan dari Sabang sampai Merauke. Bila seni pertunjukan diperbaiki manajemen panggungnya dan diberi teknik pencahayaan yang baik, seni pertunjukan dapat diperkenalkan ke dunia internasional," katanya. Guru Besar Universitas Katolik Parahyangan Bandung Prof. Yuwana Murjoko memandang bahwa visi misi Jokowi - Jusuf Kalla yang ingin menjadikan sumber daya manusia sebagai kekayaan utama menjadi angin segar bagi dunia ekonomi kreatif Tanah Air. Sehingga dia meyakini visi misi perekonomian pasangan nomor urut dua itu mampu mendukung pertumbuhan ekonomi kreatif.

"Secara eksplisit, Jokowi sangat memperhatikan industri kreatif, khususnya pada kalangan muda. Kalau ada salah satu capres akan memanusiakan manusia, maka ini hal paling prinsip," katanya. Memanusiakan manusia, menurutnya, menjadi kata kunci bahwa SDM Indonesia sudah harus unggul dalam bidang ekonomi kreatif. Di sejumlah negara yang ekonomi kreatifnya maju, sumber daya manusia dijadikan aset utama dibanding sumber daya alam maupun potensi lainnya. Namun sepertinya janji Presiden Jokowi hanya isapan jempol setelah Dewan Perwakilan Rakyat memberikan bocoran perubahan atas beberapa kementerian di struktur kabinet kerja Jokowi- JK. Kementerian pariwisata dan ekonomi kreatif diubah menjadi hanya kementerian pariwisata. Sedangkan ekonomi kreatif menjadi badan tersendiri, tidak berbentuk kementerian.

Kamar Dagang dan Industri (Kadin) menyesalkan langkah Jokowi- JK yang menghilangkan ekonomi kreatif. Hal ini dikhawatirkan menjadi bukti berubahnya 'komitmen' terhadap ekonomi kreatif yang potensinya sangat besar. "Kita harapkan, jangan sampai Kementerian Ekonomi Kreatif malah diturunkan derajatnya hanya berbentuk Badan, yang nantinya akan dianggap bidang yang kurang penting atau kalah penting dibandingkan pariwisata atau bidang lain," kata Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Ekonomi Kreatif dan MICE, Budyarto Linggowiyono. 

Pro dan Kontra tentang Ekonomi Kreatif ini dalam bentuk Kelembagaannya adalah berikut ini.

1. Kementerian Ekonomi kreatif di hapus?
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) menyesalkan langkah Jokowi-JK yang akan menghilangkan ekonomi kreatif. Pasalnya, Jokowi-JK sempat berjanji bahwa ekonomi kreatif bakal menjadi salah satu fokus pemerintahannya. "Informasi ini tentunya merisaukan dan memupuskan harapan besar adanya perhatian khusus dan komitmen kuat dari pemerintahan baru atas perkembangan industri kreatif dan MICE di Indonesia," ujar Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Ekonomi Kreatif dan MICE, Budyarto Linggowiyono. Budyarto menilai jika benar Jokowi mengubah rencana Kementerian Ekonomi Kreatif, itu menjadi bukti mantan Walikota Solo tidak menjalankan komitmennya memajukan ekonomi kreatif. "Dikhawatirkan menjadi bukti berubahnya 'komitmen' terhadap Ekonomi Kreatif yang potensinya sangat besar," ungkap Budyarto.

2.  Potensi Kekuatan Sumber Daya Manusia 
Jokowi disebut-sebut hanya akan membentuk sebuah lembaga atau badan untuk menangani sektor ekonomi kreatif. Kamar Dagang dan Industri (Kadin) DKI Jakarta pun menyayangkannya. "Ekonomi kreatif sangat penting. Karena salah satu kelebihan anak-anak kita banyak yang malah bisa menjadi kekuatan yang besar," ungkap Ketua Umum Kadin DKI Jakarta Edi Kuntadi. Edi mengungkapkan Indonesia mempunyai banyak sumber daya manusia yang kreatif. Hal itulah yang seharusnya didukung pemerintah untuk meningkatkan daya saing di kancah internasional. "Jadi bagaimana sebetulnya kita mengembangkan kekuatan yang ada seperti resource dan sumber daya manusia yang ada," ucapnya.

3. Industri Kreatif Berperan Besar Pada Perekonomi Nasional
Kadin mencatat, pada periode 2010 - 2013, industri kreatif rata-rata dapat menyerap tenaga kerja sekitar 10,6 persen dari total angkatan kerja nasional. Hal ini didorong oleh petumbuhan jumlah usaha di sektor industri kreatif pada periode tersebut sebesar 1 persen. Jumlah industri kreatif pada 2013 tercatat sebanyak 5,4 juta usaha dan mampu menyerap angkatan kerja sebanyak 12 juta jiwa. "Jadi, jika Indonesia menghapuskan Kementerian ekonomi kreatif, ini merupakan langkah mundur," kata Budyarto. Secara umum kontribusi industri kreatif dalam perekonomian Indonesia terus meningkat. Pada 2010 nilai Pertumbuhan Domestik Bruto (PDB) mencapai Rp 185 triliun, jumlah ini terus meningkat dengan rata-rata pertumbuhan 5 persen per tahun dalam kurun waktu 2010 - 2013 sehingga pada 2013 mencapai Rp 215 triliun. Industri kreatif juga telah memberikan kontribusi terhadap devisa negara sebesar Rp 119 triliun atau sebesar 5,72 persen dari total ekspor nasional. Saat ini, ekspor karya kreatif Indonesia di tengah tahun mencapai Rp 63,1 triliun atau tumbuh sebesar 7,27 dibandingkan periode yang sama pada 2013.

4. Kualitas Kinerja Kementerian Berbeda Dibanding Badan
Kadin Indonesia tetap mengusulkan agar Presiden dan Wakil Presiden, Jokowi-JK tetap membentuk Kementerian Ekonomi Kreatif, karena bentuk Kementerian 'khusus' Ekonomi Kreatif merupakan solusi dan terobosan untuk membesarkan ekonomi kreatif dalam waktu cepat, dengan ditunjang alokasi SDM dan anggaran yang memadai yang mampu mensinergikan potensi sekaligus meniadakan hambatan yang ada. Pemerintah, lanjut Budyarto, bila hanya membentuk Badan, dikuatirkan SDM dan anggaran yang dialokasikan bahkan akan lebih kecil dan lebih tidak kompeten dibandingkan ketiika Ekonomi Kreatif digabungkan dengan Pariwisata dalam suatu kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Dikuatirkan portofolio baru dalam bentuk badan, hanya akan diisi oleh SDM yang tidak pas dan tidak kompeten dengan alokasi anggaran yang minimal, yang hanya cukup untuk belanja pegawai dan biaya rutin saja.

5. Negara Maju Justru Mengaplikasikan Industri Kreatif Sebagai Penggerak Utama Ekonomi
Kadin menilai pengembangan ekonomi kreatif di negara-negara seperti China, Korea, Malaysia, Singapura, Thailand, Jepang dan Inggris telah menjadi prioritas utama. Hal tersebut ditandai dengan semakin besarnya dana yang digelontorkan dalam industri ini. Budyarto menjelaskan, negara-negara tersebut telah mengembangkan ekonomi kreatif sebagai alat ketahanan nasional seperti China mengurangi infiltrasi budaya asing dengan mewajibkan tayang animasi dan sinetron lokal. Kemudian, di negara tersebut, ekonomi kreatif juga sebagai brand maker yakni ujung tombak yang bisa menggerakkan sektor ekonomi lainnya. Dia mencontohkan budaya KPOP (Korea-Pop) dimanfaatkan oleh Samsung, Hyundai; Anime dimanfaatkan consumer brand Japan; Animasi dimanfatkan dalam budaya dan produk dagang Malaysia.

F. Tahun 2015

Apapun tentang pro dan kontra Industri Kreatif, akhirnya Kemenparekraf dihapus. Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No 72/2015 tentang perubahan Peraturan Presiden No 6/2015 tentang Badan Ekonomi Kreatif. Perpres tersebut mengubah sejumlah hal, diantaranya, dalam pertanggungjawaban Badan Ekonomi Kreatif. (Kamis 26 Juni 2015)

Bila sebelumnya, Badan Ekonomi Kreatif sebagai lembaga pemerintah nonkementerian yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden, maka dalam Perpres perubahan tersebut, Badan Ekonomi Kreatif bertanggung jawab kepada Presiden melalui menteri pariwisata. Perpres No. 72/2015 itu juga mengubah struktur organisasi Badan Ekonomi Kreatif. Jika pada Perpres No. 6/2015, Deputi di Badan Ekonomi Kreatif dibantu oleh tenaga profesional, maka pada Pasal 29 Perpres No. 72 Tahun 2015 disebutkan Deputi dapat terdiri atas paling banyak 3 (tiga) direktorat.
Direktorat sebagaimana dimaksud dapat terdiri atas 1 (satu) subbagian yang menangani fungsi ketatausahaan dan kelompok jabatan fungsional, atau dapat terdiri atas 1 (satu) subbagian yang menangani fungsi ketatausahaan dan paling banyak 2 (dua) subdirektorat.

Sementara pada Pasal 35 disebutkan, untuk melaksanakan tugas dan fungsi di lingkungan Badan Ekonomi Kreatif dapat dibentuk satuan tugas yang terdiri atas tenaga profesional sesuai dengan bidang tugasnya.  "Satuan tugas sebagaimana dapat dibentuk sesuai kebutuhan, yang diatur lebih lanjut oleh Kepala (Badan Ekonomi Kreatif, red)," bunyi Pasal 35 Ayat (2,3) Perpres tersebut.


Sumber Bacaan


Tulisan yang relevan lainnya:

No comments: