Tutupnya Harian Sinar Harapan per 1
Januari 2016, mengonfirmasi masalah serius yang membetot bisnis media di
Indonesia. Sebelum koran sore itu gulung tikar, beberapa perusahaan lain sudah
menutup sebagian lini cetaknya dalam dua bulan terakhir, seperti the Jakarta
Globe, Koran Tempo Minggu, maupun Harian Bola.
Kepada merdeka.com, Direktur Eksekutif
Serikat Perusahaan Pers (SPS) Indonesia, Asmono Wikan, menyatakan perkembangan
teknologi cuma salah satu faktor yang mempengaruhi kondisi media cetak.
Masyarakat perlahan lebih rutin mengakes informasi lewat Internet, termasuk
berita.
Namun yang lebih memukul perusahaan media,
seperti dialami Sinar Harapan, adalah buruknya ekonomi sepanjang tahun ini.
Perusahaan penerbitan media cetak harus berpikir keras menambal biaya
produksinya. Pertumbuhan ekonomi nasional pada semester I tak sampai 5 persen.
Imbasnya sampai akhir tahun ini perusahaan swasta - sumber pendapatan iklan
media massa - mengetatkan ikat pinggang.
"Media cetak tumbang karena mereka
tak sanggup lagi menghadapi situasi ekonomi makro. Kemudian karena ekonomi
melemah menyebabkan bahan percetakan menjadi mahal, contohnya kertas dan
tintanya. Lalu, parahnya tidak diimbangi dengan iklan," kata Asmono saat
dihubungi Kamis (12/11).
Media cetak yang mengambil ceruk pasar
spesifik menurutnya juga lebih rawan. Di sinilah masalah lain Sinar Harapan,
menurut Asmono. Target pasarnya pembaca isu nasional, tapi surat kabar ini
terbit saban sore. "Jadi peluang untuk dibaca jarang sekali. Paling kalo
iklan yang dibaca cuma jadwal bioskop, yang baca juga waktu-waktu senggang
saja," ungkapnya.
Pengamat media dari Lembaga Studi Pers dan
Pembangunan, Ignatius Haryanto, menambahkan catatan lain soal krisis yang kini
melanda sebagian perusahaan media di Tanah Air. Pekerjaan rumah media cetak
menyongsong era digital adalah selalu melakukan regenerasi pembaca. Isu ini
sampai menurutnya belum berhasil diatasi, termasuk oleh pemain besar sekalipun.
"Remaja yang sekarang lebih ingin
membaca media online dibanding membaca koran," tuturnya.
Masalah makin ruwet, karena prediksi
ekonomi tahun depan masih lesu. Bank Indonesiamemprediksi pertumbuhan ekonomi
paling sedikit 5,2 persen, lebih rendah dari patokan pemerintah 5,3 persen.
Di Indonesia hingga tahun lalu tercatat
ada 567 media cetak, merujuk data Dewan Pers. Lebih detail lagi, bisnis cetak
ini terdiri atas 312 media cetak harian, 173 media cetak mingguan dan 82 media
cetak bulanan. Data itu belum dimutakhirkan dengan media-media yang tak lagi
eksis dua bulan terakhir.
Persoalan lesunya bisnis cetak tak cuma
menjangkit media nasional. Banyak surat kabar regional mengurangi oplah 20-30
persen, menurut data SPS. Padahal pertumbuhan oplah media nasional cuma 0,25
persen pada tahun lalu.
Ignatius khawatir masalah bisa memburuk
jika anggaran iklan masih dihemat oleh perusahaan sampai tahun depan. Media
yang sirkulasi dan cakupan pembacanya rendah, ditambah tak punya skenario
konvergensi media, besar kemungkinan mengikuti jejak Sinar Harapan.
"Jarang yang beriklan mempercepat (kebangkrutan)."
Sumber:
http://www.merdeka.coml
No comments:
Post a Comment